- Hanafiyah dan Hanabilah kompak menyatakan bahwa yang afdhal adalah niat dibersamakan dengan takbirotul ihrom.
- Sebagian Malikiyah (pendapat kedua) menyatakan tidak sah niat didahulukan dari takbirotul ihrom secara muthlaq.
Kok bisa beda yah? Akar masalah khilafiyah pada permasalahan ini adalah karena niat dalam Madzhab Syafi’i termasuk fardh min fara’idh ash-shalat atau istilah lainnya rukn min arkan ash-shalat, sedangkan dalam 3 madzhab lain niat termasuk syarth min syara’ith ash-shalat. Nah, oleh karena dalam madzhab Syafi’i termasuk rukun maka niat tersebut merupakan bagian dari hakikat shalat. Oleh karena merupakan bagian dari hakikat shalat, maka waktu pelaksanaannya harus ada pada momentum shalat. Momentum shalat berdasarkan definisi shalat ada semenjak memulai takbirotul ihrom, karena shalat itu " مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ / muftatahatun bittakbiiri / dibuka dengan takbir" sampai salam pertama karena shalat itu "مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ / mukhtatamatun bittasliimi / ditutup dengan salam". Sudah faham belum? Untuk lebih jelasnya, silahkan dibaca sampai tuntas!
Madzhab Syafi’I
Berikut ini adalah penjelasan para Ulama Fiqih Syafi’iyah :
- "Niat tidak menempati posisi takbirotul Ihrom. Niat tidak menjadikan takbiratul ihram tercukupi, kecuali niat keberadaannya menyertai takbirotul ihrom. Niat tidak mendahului takbiratul ihrom. Niat juga tidak berada setelah takbirotul ihrom" [Imam Syafi’I, Al-Umm Juz 1 Hal 121]
- "Dan wajib keberadaan niat dibersamakan dengan takbirotul ihrom. Maka jika mushalli berniat dan ghaflah perihal niat sebelum takbirotul ihrom, tidak cukup. Begitu juga tidak cukup jika niat dibersamakan dengan takbir dan tidak dikontinyukan sampai sempurnanya takbirotul ihrom menurut jalan madzhab yang paling dzahir" [Imam Ar-Rafi’I, Al-Muharror Hal 31]
- "Dan wajib membersamakan niat dengan takbirotul ihrom. Dan Qiila/Dikatakan : Cukup dibersamakan dengan awal takbirotul ihrom." [Imam Muhyiddin An-Nawawi, Minhaj Ath-Thalibin Hal 96]
- "Wajib membersamakan niat dengan takbirotul ihrom. Maksudnya : dengan seluruh takbirotul ihrom, karena takbirotul ihrom merupakan awal af’al shalat. Maka wajib membersamakan niat dengannya sepertihalnya ibadah haji dan selainnya kecuali shaum, dengan cara : mushalli menghadirkan dzatiyah shalat dan perkara yang wajib dita’arudhkan dari antara sifat-sifat shalat di dalam hatinya, kemudian bermaksud mengerjakan yang sudah dimaklum tersebut dan menjadikan maksudnya ini dibersamakan pada awal takbirotul ihrom, dan tidak boleh ghaflah dari mengingat maksud tersebut sampai sempurna takbirotul ihromnya, dan tidak cukup kepada mushalli pembagiannya atas maksud tersebut, maka apabila terjadi kekosongan niat sebelum sempurna takbirotul ihrom, maka tidak sah shalatnya, karena niat diperhitungkan dalam hal in’iqad/jadinya, dan itu tidak akan dapat dihasilkan kecuali dengan sempurna takbirotul ihrom…….. yang dijadikan perhitungan adalah iqtironnya dengan lafadz takbirotul ihrom yang in’iqod takbirotul ihrom tawaquf kepada lafadz tersebut, yaitu lafadz Allahu Akbar. Maka tidak disyaratkan iqtiron pada lafadz yang takhallul antara lafadz Allah dan lafadz Akbar. Dan Qiila/Dikatakan : cukup membersamakan dengan awal takbirotul ihrom dan tidak wajib menyertakannya sampai akhir takbirotul ihrom, dan qiila/dikatakan : wajib mengkaretkannya sampai akhir." [Imam Ramli, Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Minhaj Ath-Thalibin Juz 1 Hal 464-465]
- "Wajib membersamakan niat (yang meliputi terhadap seluruh perkara yang mu'tabar pada niat yaitu : qashdul fi'li, ta'yin, fardhiyah, qashar di hak seorang musafir, imamah dan ma'mumiyah pada shalat jum'at) terhadap takbirotul ihrom. Dan itu caranya adalah dengan : mushalli menghadirkan di dalam hatinya perkara yang mu'tabar pada niat -> kemudian bermaksud untuk melakukan semua yang sudah dima'lum tersebut dan menjadikan maksudnya ini dibersamakan terhadap awal takbirotul ihrom serta tidak boleh ghaflah dari mengingatnya sampai sempura takbirotul ihrom. Tidak mencukupkan kepadanya membagi-bagi komponen redaksi al-maqshud (alias perkara yang mu'tabar pada niat), dengan cara : dia mulai mengungkapkan al-maqshud dari permulaan takbir dan mengakhiri pengungkapannya beserta akhir takbirotul ihrom, karena dengan cara itu mesti kepadanya dari terdapat kekosongan pada sebagian besar durasi takbir yang itu adalah merupakan awal perbuatan-perbuatan shalat (kosong) dari kesempurnaan niat. Imam Muhyiddin An-Nawawi dan yang lainnya seperti : Imam Ibnu Rif'ah dan Imam As-Subki secara itba' kepada Imam Al-Ghazali dan Gurunya menjadikan Qaul Al-Mukhtar terhadap bahwasanya cukup al-muqoronah al-urfiyah (praktek pembersamaan secara kebiasaan) dari orang-orang awam sekira itu diperhitungkan sebagai mustahdhiron lishshalat (menghadirkan hati untuk shalat)." [Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhaj Al-Qawim Hal 87]
Madzhab Hanafi
- jika mushali berniat untuk shalat dzuhur misalnya
- kemudian dia syuru’/take on pada pelaksanaan wudhu
- Setelah selesai wudhu kemudian berjalan ke masjid
- Kemudian syuru’/take on pada pelaksanaan shalat tanpa mengistihdharkan niat.
Maka shalatnya sah menurut Hanafiyah. Dan anda telah mengetahui dari penjelasan yang telah lalu, bahwasanya niat dalam pandangan Hanafiyah adalah kehendak shalat karena Allah Ta'ala saja, tanpa menyekutukan beserta Allah pada niat shalat terhadap perkara dari urusan-urusan duniawi secara muthlaq. Maka tatkala :
- mushalli meniatkannya begini
- kemudian syuru' pada shalat tanpa adanya fashilah antara niat mushalli dan Allah Ta'ala dengan amaliyah ajnabiy
maka sesungguhnya mushalli telah mendatangkan terhadap yang diperintahkan dari Allah Ta'ala. Dan jika :
- Jika dia telah syuru' pada shalat dengan niat yang shahih ini
- kemudian masuk kepadanya seseorang
- kemudian dia menunda shalat untuk bercakap dengan seseorang tersebut
Maka sesungguhnya itu tidaklah membatalkan shalat. Akan tetapi tidak ada baginya pahala penundaan ini, dan yang ada baginya hanyalah pahala shalat aslinya (minus penundaan, sekalipun praktek penundaan berada pada durasi pasca niat yang diawalkan). Itu karena sesungguhnya niatnya murni kepada Allah (tidak diniatkan kepada selain Allah, termasuk selain Allah : percakapan yang dadakan tersebut dan orang yang bercakap-cakap dengannya tersebut). Dan ini adalah makna dari klaim sebagian Hanafiyah : sesungguhnya shalat tidak dapat masuk ke dalamnya riya. sesungguhnya maksud mereka dengan itu tadi, bahwasanya niat yang murni mencukupi pada sahnya shalat, dan riya yang baru datang setelah niat yang murni tersebut tidaklah memadharatkan. Berdasarkan bahwasanya riya adalah merupakan satu keburukan yang tidak ada faedah darinya, secara ittifaq.
Dan apakah sah jika niat yang didahulukan sebelum takbirotul ihrom tersebut diniatkan sebelum masuk waktu shalat? Contoh kasus :
- Seseorang berniat untuk shalat dan bahkan berwudhu beberapa saat sebelum masuk waktu shalat.
- kemudian dia berjalan menuju masjid tanpa bercakap-cakap mengeluarkan kalam ajnabiy dari mulutnya.
- kemudian dia duduk di masjid sampai tiba masuknya waktu shalat.
- kemudian dia shalat.
Nah, dalam hal ini ada 2 pendapat di kalangan Ulama Hanafiyah sebagai jawabannya :
- Bahwasanya pendapat yang dinuqil dari Imam Abu Hanifah adalah "sesungguhnya niat tidak sah sebelum masuk waktu shalat."
- Sah menurut sebagian pendapat Ulama Hanafiyah, karena status niat dalam shalat adalah syarat bukan rukun والشرط يتقدم على المشروط / wa asy-syarthu yataqaddamu ala al-masyruuth / dan syarat mendahului terhadap masyruth, maka mendahuluinya niat adalah merupakan tabi'at.
Pada permasalahan ini, Ulama Hanafiyah telah ittifaq terhadap bahwasanya yang lebih utama adalah niat dibersamakan terhadap takbiratul ihram tanpa fashilah. Maka mesti kepada pengikut Hanafiyah untuk waro' terhadap itu, dan jangan membuat fashilah antara niat dan takbirotul ihrom!, karena itulah yang lebih utama dan menghilangkan khilafiyah." [Syaikh Abdurrohman Jabir Al-Jaza'iri, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 1 Hal 196-197]
Kesimpulan Hanafiyah : sah niat didahulukan beberapa saat sebelum takbirotul ihrom, akan tetapi yang afdhal adalah dibersamakan.
Madzhab Hanbali
- Pengikut madzhab Hanbali berniat untuk shalat
- Sebelum takbirotul ihrom dia mengeluarkan kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan shalat
- Kemudian dia bertakbirotul ihrom
Maka sah shalatnya, menurut Ulama Hanabilah. Adapun yang menjadi sebab bahwa niat disyaratkan harus sudah masuk waktu shalat adalah muroo’atan li khilaafi man yaqulu innaha ruknun = menjaga dari berbeda dengan pendapat madzhab yang mengatakan bahwa niat termasuk rukun (yang dimaksud adalah Syafi’iyah).
Yang lebih utama di kalangan Hanabilah adalah keberadaan niat dibersamakan terhadap takbirotul ihrom, sepertihalnya pendapat Hanafiyah." [Syaikh Abdurrohman Jabir Al-Jaza'iri, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 1 Hal 196-197]
Kesimpulan Hanabilah : sah niat didahulukan beberapa saat sebelum takbirotul ihrom, akan tetapi yang afdhal adalah dibersamakan.
Madzhab Maliki
"Malikiyah berpendapat : niat sah didahulukan beberapa saat sebelum takbiratul ihrom. Durasi yang disebut sebentar/beberapa saat tersebut mengikuti ukuran sebentar kebiasaaan/uruf. Contoh kasus :
- Jika pengikut Madzhab Maliki berniat untuk shalat pada tempat yang tidak jauh dari masjid.
- Kemudian dia langsung takbir ketika sampai di masjid dalam keadaan lupa tidak niat seketika itu.
Maka sah shalatnya menurut sebagian Ulama Malikiyah.
Sebagian pendapat lagi mengatakan : sesungguhnya niat, tidak sah mendahuluinya terhadap takbirotul ihrom secara muthlaq. Maka jika niat mendahului takbirotul ihrom, batalah shalatnya. Akan tetapi yang dhahir di kalangan Malikiyah adalah pendapat yang pertama." [Syaikh Abdurrohman Jabir Al-Jaza'iri, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 1 Hal 196-197]
Kesimpulan Malikiyah : Mendahulukan niat beberapa saat sebelum takbirotul ihrom menurut sebagian ulama Malikiyah itu tidak sah, akan tetapi menurut pendapat yang paling dzohir di kalangan Malikiyah itu sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah ikut berpartisifasi
Komentar anda akan segera kami balas