Perbedaan Sunat, Mandub, Mustahab, Tathawwu' - Menurut Ulama Fiqih 4 Madzhab - BAITUSSALAM

Perbedaan Sunat, Mandub, Mustahab, Tathawwu' - Menurut Ulama Fiqih 4 Madzhab

Perbedaan Sunat, Mandub, Mustahab, Tathawwu' - Menurut Ulama Fiqih 4 Madzhab : Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah.

Menurut Syafi'iyah

Mandub, mustahab, tathawwu' dan sunnah merupakan lafadz-lafadz mutarodif. Maksudnya : nama-nama untuk makna yang satu. Dan makna yang satu itu adalah sebagaimana yang dimaklum dari had ندب :
الْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ طَلَبًا غَيْرَ جَزِمٍ
Pekerjaan yang dituntut dengan tuntutan yang tidak jazim.
Mengkhilafi terhadap sebagian dari ashhab kita, yaitu Al-Qadhi Husain dan yang lainnya dalam hal penafian mereka terhadap ke-taroduf-an semua itu. Sekira mereka berkata :
هذا الفعل إن واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم فهو السنة أو لم يواظب عليه كأن فعله مرة أو مرتين فهو المستحب أو لم يفعله وهو ما ينشئه الإنسان باختياره من الأوراد فهو التطوع ولم يتعرضوا للمندوب لعمومه للأقسام الثلاثة بلا شك
Pekerjaan ini jika Rasulullah SAW muwadzobah terhadapnya maka pekerjaan tersebut namanya adalah as-sunnah. Jika Rasulullah tidak me-muwadzobah-kan terhadapnya seperti mengerjakannya sekali atau dua kali, maka pekerjaan ini namanya adalah al-mustahab. Jika Rasulullah tidak mengerjakannya, dan seorang insan memunculkannya dengan atas pilihan Rasulullah SAW dari wirid-wirid maka pekerjaan itu namanya adalah at-tathawwu'. Mereka tidak menampilkan terhadap al-mandub karena umumnya makna al-mandub terhadap bagian-bagian yang 3 tanpa keraguan.[1]

Sunat, Mandub, Mustahab dan Tathawwu’ merupakan lafadz-lafadz mutarodifah dengan makna yang satu yaitu :
مَا يُطْلَبُ مِنَ الْمُكَلَّفِ أَنْ يَفْعَلَهُ طَلَبًا غَيْرَ جَزِمٍ فَإِذَا فَعَلَهُ يُثَابُ عَلَى فَعْلِهِ وَإِذَا تَرَكَهُ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
"Perkara yang dituntut dari mukallaf mengerjakannya dengan tuntutan yang tidak jazim. Maka jika dia telah mengerjakannya, akan diberi pahala atas pekerjaannya. Dan jika dia telah meninggalkannya, maka akan di'adzab atas peninggalannya"
Kemudian mereka membagi sunat kepada 2 bagian : 
1).Sunat ‘ain.
Sunat 'ain adalah  : 
مَا يُطْلَبُ فِعْلُهُ بِخُصُوْصِهِ مِنَ الْمُكَلَّفِ طَلَباً غَيْرَ جَازِمٍ وَلَا يُخْتَصُّ بِهِ اِلَّا وَاحِدٌ مِنَ الْمُكَلَّفِيْنَ دُوْنَ الْآخَرِ
Perkara yang dituntut pengerjaannya dengan kekhususannya dari seorang mukallaf dengan tuntutan yang tidak jazim dan tidak dikhususkan dengannya kecuali satu orang mukallaf dari antara semua mukallaf tidak yang lainnya.
Yang demikian itu adalah seperti sunat-sunat pada fara’idh ash-shalat. 
2).Sunat Kifayah.
Sunat kifayah adalah :
مَا يُخَاطَبَ بِهَا مَجْمُوْعُ الْمُكَلَّفِيْنَ بِحَيْثُ إِذَا أَتَى بِهَا بَعْضُهُمْ سَقَطَتْ عَنِ الْبَاقِيْنَ
Perkara yang dikhitobi dengannya keseluruhan mukallafin sekira jika mendatangkan terhadap perkara tersebut sebagian mukallafin maka menjadi jatuhlah perkara tersebut dari mukallafin sisanya.
Yang demikian itu adalah seperti sunat ketika mereka makan bersama, kemudian salah seorang di antara mereka membaca tasmiyah. Maka sunat membaca tasmiyah tersebut gugur dari selainnya, tapi dikhususkan orang yang membaca mengenai pahala pelaksanaan sunat bukan selainnya. [2]

Menurut Malikiyah

Sunat adalah :
ما طلبه الشارع، وأكد أمره، وعظم قدره وأظهره في الجماعة ولم يقم دليل على وجوبه. ويثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها
Perkara yang Syari' menuntut perkara tersebut, kuat perintahnya, agung ukurannya, lebih dzohirnya pada jama'ah, tidak berdiri suatu dalil atas kewajibannya, akan diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak akan di'adzab orang yang meninggalkannya.
Dan sunat ini ada perbedaan dengan mandub dalam madzhab mereka, karena mandub adalah :
ما طلبه الشارع ولم يؤكد طلبه وإذا فعله المكلف يثاب وإذا تركه لا يعاقب ويعبرون عن المندوب بالفضيلة
Perkara yang Syari' menuntutnya, tidak kuat tuntutannya, jika seorang mukallaf telah mengerjakannya maka akan diberi pahala dan jika seorang mukallaf meninggalkannya maka tidak akan di'adzab, dan tentang mandub mereka terkadang menyebutnya dengan fadhilah.
Mereka memberikan perumpamaan terhadap mandub dengan shalat 4 rakaat qabla dzuhur dan selainnya dari antara perkara-perkara yang anda akan mengenalinya nanti pada pembahasan “mandubat ash-shalat”. [2]

Menurut Hanafiyah

Sunat terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1).Sunat Mu’akkadah
Sunat Mu’akkadah adalah dengan makna wajib menurut mereka. Karena mereka berkata :
إن الواجب أقل من الفرض
Sesungguhnya wajib lebih sedikit dari fardhu
Wajib dimaksud adalah :
ما ثبت بدليل فيه سبهة ويسمى فرضاً عملياً. بمعنى أنه يعامل معاملة الفرائض في العمل. فيأثم بتركه. ويجب فيه الترتيب والقضاء ولكن لا يجب اعتقاد أنه فرض
Perkara yang ditetapkan dengan dalil yang di dalamnya terdapat ketidakpastian, dinamakan juga fardhu amaly, dengan makna bahwasanya seorang mukallaf mengamalkan layaknya pengamalan fardhu-fardhu dalam hal pengamalan, maka menjadi berdosa sebab meninggalkannya, dan wajib pada pengamalannya tertib dan wajib qadha, akan tetapi tidak wajib mengi’tiqadkan bahwasanya itu fardhu.

Dan yang demikian itu adalah seperti shalat witir, karena bahwasanya shalat witir menurut mereka adalah fardhu mengamalkannya tidak mengi’tiqadkannya. Maka menjadi berdosa mukallaf yang meninggalkannya dan tidak jadi kufur orang yang mengingkari kefardhuannya. Hal ini berbeda dengan shalat fardhu 5 waktu, karena bahwasanya shalat fardhu 5 waktu adalah fardhu mengamalkannya dan fardhu meng’itiqadkannya. Maka menjadi berdosa orang yang meninggalkannya dan menjadi kufur orang yang mengingkari kefardhuannya, berdasarkan pendapat bahwasanya orang yang meninggalkan perkara wajib menurut ulama hanafiyah tidaklah berdosa seperti dosanya orang yang meninggalkan fardhu. Maka dia tidak di'adzab dengan neraka menurut qaul tahqiq madzhab Hanafi, akan tetapi menjadi dihalangi dari mendapatkan syafa’at Rasulullah SAW. 

Dan dengan demikian dapat diketahui bahwasanya Hanafiyah jika mereka berkata : “ini sunat mu’akkad” maka yang mereka maksudkan dengan perkataan tersebut adalah perkara wajib yang telah kami jelaskan. 

Dan dari sebagian hukum-hukumnya adalah bahwasanya sunat mu’akkadah jika ditinggalkan dalam shalat dikarenakan lupa, maka bisa ditambal dengan sujud sahwi.

2).Sunat Ghair Mu’akkadah
Mereka menyebutnya mandub dan mustahab. Sunat Ghair Mu’akkadah adalah :
ما يثاب على فعله، ولا يعاقب على تركه
Perkara yang akan diberi pahala atas pengerjaannya dan tidak akan di'adzab atas peninggalannya. [2]

Menurut Hanabilah

Sunat, Mandub dan Mustahab merupakan lafadz-lafadz mutarodifah dengan makna yang satu yaitu :
ما يثاب على فعله، ولا يعاقب على تركه
Perkara yang akan diberi pahala atas pengerjaannya dan tidak akan di'adzab atas peninggalannya. [2]
Sepertihalnya penjelasan yang Syafi’iyah telah mengatakannya. Hanya saja mereka membagi sunat kepada Muakkadah dan Ghair Mu’akkadah.

Selanjutnya, Mu’akkadah adalah seperti : shalat witir, shalat 2 rakaat fajar dan shalat tarawih. Dan hukum meninggalkannya menurut mereka adalah makruh. Adapun meninggalkan Ghair Mu’akkadah maka bukanlah makruh. [2]

Sumber :
[1] Al-Mawani Al-Jawami Syarah Al-Jam'i Al-Jawami Jilid 1 Hal 89-90
[2] Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah Jilid 1 Hal 60-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah ikut berpartisifasi
Komentar anda akan segera kami balas