5 Strategi Fiqih Syafi'iyah Agar Qurban أُضْحِيَّةٌ (Udhhiyah) Tidak Berubah Dari Hukum Asal Sunat Mu'akkad Menjadi Wajib Sehingga Pemilik Sekeluarga Boleh Memakan Sebagian Dagingnya - BAITUSSALAM

5 Strategi Fiqih Syafi'iyah Agar Qurban أُضْحِيَّةٌ (Udhhiyah) Tidak Berubah Dari Hukum Asal Sunat Mu'akkad Menjadi Wajib Sehingga Pemilik Sekeluarga Boleh Memakan Sebagian Dagingnya

Setidaknya penulis yang faqir ilmu ini menemukan 5 strategi dalam fiqih Syafi'iyah agar qurban أُضْحِيَّةٌ (udhhiyah) tidak berubah hukumnya dari hukum asal sunat mu'akkad ke hukum baru menjadi wajib sehingga pemilik sekeluarga boleh memakan sebagian dagingnya, dan ingin membagikannya kepada netizen sedunia - Semua strategi bersifat antisipatif, sehingga penting difahami bahwa penerapannya akan menjadi oke jika dilakukan sejak dini sebelum masuk ke tahapan pengumpulan dana untuk pembelian hewan qurban - Jika anda seseorang yang memiliki peranan penting dalam kepanitiaan qurban, pengetahuan tentang ini mutlak anda butuhkan. Semoga bermanfaat!

Secara asal hukum qurban udhhiyah adalah sunat muakkad, tapi dari hukum asal tersebut udhhiyah bisa berubah menjadi wajib jika mudhahhi menadzarkannya, baik nadzar haqiqi maupun nadzar hukmi :  ta'yin & ju'alah - Masalah ini cukup rumit apalagi jika kita mencoba memahaminya sebelum mengenali apa itu nadzar, apa itu ta'yin, apa itu ju'alah serta apa saja kosakata yang cenderung mengarah kepada salah satu dari ketiganya jika dirangkai pada suatu kalimat - Nah, strategi yang akan dijelaskan ini adalah sebagai langkah antisipatif agar qurban udhhiyah kita tidak menjadi masuk ke dalam kategori qurban udhhiyah al-mandzuroh yang hasil sembelihannya menjadi eksklusif 100% tidak ada yang boleh dimakan oleh mudhahhi, sedangkan di sisi lain mudhahhi juga diyakini berkeinginan ikut menikmati hasil sembelihannya. Oleh karena itu strategi sebagai solusi menjadi sangat dibutuhkan, agar semua pihak bisa sama-sama bahagia bdengan bisa menikmati menu makanan special hari raya idul adha tersebut.

Secara umum, potensi masalah dimungkinkan ada pada 2 momentum :
  1. Saat melafalkan / melisankan / mentalaffudzkan / menyuarakan suara hati terhadap niat bertadhhiyah dengan suara mulut menjadi perkataan layaknya kita meنويتkan niat shalat sebelum takbirotul ihrom. Strategi yang digunakan penulis merujuk pada penjelasan Syaikh Sayid Abu Bakar dalam Kitab I'anah Ath-Thalibin Jilid 2 Halaman 331. Strategi ini akan diurutkan pada artikel ini sebagai strategi kesatu.
  2. Saat menyatakan suatu redaksi kalimat baik kalimat خبارية (pemberitahuan) maupun انشائية (serupa pernyataan) dan lain sebagainya yang merupakan pengeluaran kata-kata dari mulut. Dalam hal ini, termasuk bahasa isyarat jika dia merupakan orang yang tuna wicara. Strategi ada 4 dan merujuk pada penjelasan : Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi dalam Kitab Tsimar Al-Yani'ah fi Ar-Riyadh Al-Badi'ah & Syaikh Ali Bashabrain dalam Kitab Itsmad Al-Ainain fi Ba'dhi Ikhtilaf Asy-Syaikhain Halaman 77 untuk strategi kedua. Syaikh Abdurrohman Ba'alawi dalam Kitab Bughiyah Al-Mustarsyidin Halaman 258 untuk strategi ketiga, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh Jilid 4 Halaman 2707 untuk strategi keempat, dan Syaikhul Islam Ibrohim Al-Bajuri dalam Kitab Hasyiyah Al-Bajuri Jilid 2 Halaman 296 untuk strategi kelima.
Alasan pengurutan strategi :
  • Strategi kedua, strategi ketiga dan strategi keempat ada benang merah dengan strategi kesatu. Keywordnya adalah "أُضْحِيَّةً". Suatu kata yang secara terminologi fiqih mengandung makna : "perkara yang disembelih dari yang termasuk binatang ternak dalam rangka qurban/taqorrub kepada Allah pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq". Jadi kata ini merupakan kata khusus yang bahkan lebih spesifik daripada kata "قُرْبَانٌ Qurban" maupun kata "ذَبِيْحَةٌ Sembelihan".
  • Strategi kelima ada benang merah dengan strategi kedua, strategi ketiga dan strategi keempatKeywordnya adalah "خَبَرِيَّةٌ" dan "إِنْشَائِيَّةٌ". Kedua istilah ini merupakan objek pembahasan ilmu ma'ani, dan ilmu ma'ani merupakan suatu ilmu tentang makna perkataan. خَبَرِيَّةٌ merupakan suatu jenis kalimat pemberitahuan, sedangkan إِنْشَائِيَّةٌ merupakan suatu jenis kalimat yang bukan pemberitahuan dan lebih mendekati suatu pernyataan. Sederhananya begitu.
Itulah alasan penulis mengurutkan strateginya, dengan tujuan agar lebih memudahkan pembaca untuk memahami karakteristik kelimanya. 

Terus terang saja, tidak mudah memahami semua ini. Keberadaan segelas susu atau secangkir kopi mungkin akan anda butuhkan. Jika anda merasa butuh untuk mendiskusikannya lebih jauh, kolom komentar bisa anda manfaatkan.

Strategi Kesatu - Jika niat أُضْحِيَّةً  dilisankan sebelum awal proses penyembelihan, sertakan qayid مَسْنُوْنَة atau سُنَّة pada redaksi niatnya.
قوله بنية أضحية إلخ : متعلق بتضحية، أي يسن تضحية بنية أضحية، أي يشترط فيها النية عند الذبح أو قبله عند التعيين لما يضحي به. ومعلوم أنها بالقلب، وتسن باللسان، فيقول: نويت الأضحية المسنونة، أو أداء سنة التضحية. فإن اقتصر على نحو الأضحية صارت واجبة يحرم الأكل منها. وحينئذ فما يقع في ألسنة العوام كثيرا من شرائهم ما يريدون التضحية به. من أوائل السنة، وكل من سألهم عنها يقولون له هذه أضحية من جهلهم بما يترتب على ذلك من الأحكام يصير به أضحية واجبة يمتنع عليه أكله منها
Redaksi Mushannif (Syaikh Zainuddin Al-Malibari) بنية أضحية إلخ : Jar dan majrur بنية nglink ke تضحية -> disunatkan تضحية dengan niat أضحية -> disyaratkan niat pada تضحية ketika momentum penyembelihan atau sebelumnya ketika ta'yin terhadap perkara yang diتضحيةkan, dan sudah maklum bahwasanya niat adalah dengan menggunakan hati, dan disunatkan dengan pengucapan lisan, maka mudhahhi mengucapkan redaksi : 
نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ
"aku telah meniatkan terhadap qurban udhhiyah yang disunatkan" atau 
نَوَيْتُ أَدَاءَ سُنَّةِ التَّضْحِيَّةِ 
"aku telah meniatkan terhadap penunaian sunat berqurban udhhiyah".
Jika dia mengiqtishar (meringkaskan penyertaan kosakata hanya) terhadap seumpama kata الْأُضْحِيَّةَ (atau التَّضْحِيَّةِ) maka أضحية menjadi wajibah yang haram memakan sebagian darinya.

Dan tatkala begitu (jika dia mengiqtishar terhadap seumpama kata الْأُضْحِيَّةَ maka أضحية menjadi wajibah), maka yang terjadi pada lisan-lisan orang awam yang banyak terjadi dari pembelian mereka terhadap perkara yang mereka kehendaki sebab perkara tersebut dari awal-awal tahun,  dan kepada setiap orang yang bertanya kepada mereka perihal hewan tersebut mereka menjawab :  
هٰذِهِ أُضْحِيَّةً
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya) adalah أُضْحِيَّةً"
dari kebodohan mereka perihal perkara yang ditertibkan terhadap itu yaitu hukum-hukum, maka jadilah sebab perkataan tersebut udhhiyah wajibah yang terlarang kepadanya untuk memakan sebagian darinya.  [Syaikh Sayid Abu Bakar - I'anah Ath-Thalibin Jilid 2 Halaman 331 - Kitab Syafi'iyah]

Mafhum Penulis
Syaikh Sayid Abu Bakar menjelaskan bahwa niat termasuk salah satu syarat sah أضحية, dan waktu meniatkannya 
  • bisa sebelum proses penyembelihan (diawalkan)
  • bisa pada momentum proses penyembelihan (dibersamakan)
Sebagaimana sudah diketahui bersama, tempatnya niat adalah hati, jadi yang wajib adalah hanya pengucapan menggunakan suara hati, tidak wajib diucapkan dengan suara lisan. Tapi Syaikh Sayid Abu Bakar juga menjelaskan bahwa hukum melisankannya itu disunatkan. Oleh karena disunatkan melisankannya maka tentu dimungkinkan terjadi pengucapan secara lisan oleh mudhahhi. Yang mengkhawatirkan adalah ketika itu dilisankan sebelum proses penyembelihan dengan menggunakan redaksi yang cenderung mengarah kepada menadzarkan, sehingga menyebabkan perubahan hukum udhhiyah menjadi wajib. Jadi di sinilah potensi masalahnya.

Strategi antisipatifnya adalah selalu sertakan pada redaksi niat tersebut suatu kosakata yang secara fungsi bisa menjadi qayid penjelas bahwa yang diqurbankan adalah qurban udhhiyah sunat, alias tidak mengiqtishar / mencukupkan penyertaan الْأُضْحِيَّةَ atau التَّضْحِيَّةِ saja tanpa qayid penjelas. Sayid Abu Bakar merekomendasikan contoh rangkaian kalimat niat :
  1. "نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ / Aku meniatkan terhadap qurban udhhiyah yang disunatkan"
  2. "نَوَيْتُ أَدَاءَ سُنَّةِ التَّضْحِيَّةِ / Aku meniatkan terhadap penunaian sunat berqurban udhhiyah".
Perhatikan kedua redaksi niat tersebut!
  • rangkaian redaksi niat kesatu menyertakan kosakata الْمَسْنُوْنَةَ (yang disunatkan)
  • rangkaian redaksi niat kedua menyertakan kosakata سُنَّةِ (sunat)
Keduanya memiliki fungsi sebagai qayid penjelas bahwa jenis udhhiyah yang akan ditaqorrubkan adalah udhhiyah sunat. Penjelasan yang agak mirip juga terdapat dalam Bughiyah Al-Mustarsyidin Halaman 258 yaitu penyertaan kata تَطَوُّعًا (Lihat strategi ketiga) dimana kosakata ini sangat mungkin bisa dijadikan alternatif dari kata الْمَسْنُوْنَةَ dan kata سُنَّةِ sebagai qayid penjelas pada niat.

Strategi Kedua - Maksudkan ucapan berupa rangkaian kalimat yang berisi konten أُضْحِيَّة sebagai kalimat pemberitahuan saja.
مسئلة
ما يقع من العوام من قولهم هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ جاهلين بما يترتب على ذلك وإن قصدوا الإخبار تصير به منذورة كما في حج و م ر لكن قال السيد عمر البصري محله ما لم يقصدوا الإخبار وإلا لم تتعين
perkara yang terjadi dari orang-orang awam yaitu ucapan mereka :
هٰذِهِ أُضْحِيَّة
"ini (kata isyarat ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya) adalah udhhiyyah"
dalam keadaan bodoh terhadap perkara yang ditertibkan atas semua itu sekalipun mereka memaksudkannya sebagai pemberitahuan maka jadilah udhhiyah sebab ucapan itu menjadi udhhiyah yang dinadzarkan sebagaimana pada penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ramli. Akan tetapi telah berkata Sayid Umar Al-Bashri : "Tempat jatuhnya ucapan seseorang هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ menjadi nadzar adalah selagi mereka tidak memaksudkannya sebagai kalimat pemberitahuan, dan jika tidak begitu maka udhhiyah menjadi tidak terta'yin. [Syaikh Ali Bashabrain, Itsmad Al-Ainain fi Ba'dhi Ikhtilaf Asy-Syaikhain Halaman 77]
ولا تجب إلا بالنذر كقوله عَلَيَّ أَنْ أُضَحِيَ بِهٰذِهِ أو بِشَاةٍ أو إِنْ مَلَكْتُ شَاةً فَعَلَيَّ أَن أُضَحِيَ بِهَا وكقوله هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ ولا يحتاج في هذه القول الى نية بل لا عبرة بنية خلافه لأنه صريح ويلغو نية ذلك بلا لفظ. قال السيد عمر البصري ومحل وقوع قوله هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ نذرا ما لم يقصد الإخبار وإلا لم تتعين خلافا لابن حجر والرملي حيث قالا تصير الضحية بهذا القول منذورة وإن قصدوا الإخبار بخلاف قوله إِنْ مَلَكْتُ هٰذِهِ فَعَلَيَّ أَنْ أُضَحِيَ بِهَا فلا تصير منذورة لأن المعين لا يثبت في الذمة
Udhhiyah tidak menjadi wajib kecuali sebab nadzar, seperti ucapan seseorang :
عَلَيَّ أَنْ أُضَحِيَ بِهٰذِهِ
"mesti kepadaku تضحية dengan ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya)"
atau
عَلَيَّ أَنْ أُضَحِيَ بِشَاةٍ
"mesti kepadaku تضحية dengan seekor domba"
atau
إِنْ مَلَكْتُ شَاةً فَعَلَيَّ أَن أُضَحِيَ بِهَا
"jika aku telah memiliki seekor domba maka mesti kepadaku تضحية dengannya"
atau seperti ucapannya :
هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya) adalah أُضْحِيَّةٌ"
Dan tidak dibutuhkan pada ucapan ini terhadap suatu niat, bahkan tidak ada perhitungan terhadap berbedanya niat dengan yang diucapkan, karena ucapan tersebut bersifat sharih. Dan niat yang berbeda dengan ucapan tersebut tidak berlaku niat dengan tanpa ditalaffudzkan.

Telah berkata Sayid Umar Al-Bashri : "Tempat jatuhnya ucapan seseorang هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ menjadi nadzar adalah selagi dia tidak memaksudkannya sebagai pemberitahuan, dan jika tidak memaksudkannya sebagai pemberitahuan maka udhhiyah tidak menjadi terta'yin". Perkataan Sayid Umar Al-Bashri khilaf terhadap Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ramli tentang keduanya telah berkata : "udhhiyah menjadi mandzurah sebab ucapan ini sekalipun dia memaksudkannya sebagai pemberitahuan, berbeda dengan ucapan seseorang : 
إِنْ مَلَكْتُ هٰذِهِ فَعَلَيَّ أَنْ أُضَحِيَ بِهَا
jika aku telah memiliki ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba saudi arabia misalnya) maka mesti kepadaku bertadhhiyah dengannya
maka udhhiyah tidak menjadi mandzuroh karena yang dita'yin tidak tetap dalam tanggungan". [Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tsimar Al-Ya'inah fi Ar-Riyadh Al-Badi'ah Halaman 80]

مسئلة ب
ظاهر كلامهم أن من قال هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ أو هِيَ أُضْحِيَّةٌ أو هَدْيٌ تعينت وزال ملكه عنها ولا يتصرف إلا بذبحها فى الوقت وتفرقتها ولا عبرة بنيته خلاف ذلك لأنه صريح قال الأذرعي كلامهم ظاهر فى أنه إنشاء وهو بالإقرار أشبه
Dzohir perkataan para ulama adalah bahwasanya orang yang berkata :
هٰذِهِ أُضْحِيَّة 
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba saudi arabia misalnya) adalah أُضْحِيَّة"
atau 
هِيَ أُضْحِيَّةٌ
"dia (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan terhadap sakadang domba saudi arabia misalnya) adalah أُضْحِيَّة" 

atau  

هٰذِهِ هَدْيٌ 
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba saudi arabia misalnya) adalah هَدْيٌ"
atau 
هِيَ هَدْيٌ
"dia (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan terhadap sakadang domba saudi arabia misalnya) adalah هَدْيٌ" 
maka domba itu menjadi terta'yin, dan menjadi hilang kepemilikannya atas domba tersebut, dan tidak boleh ditasharrufkan kecuali dengan menyembelih domba tersebut pada waktunya dan memisahkan bagian-bagian tubuhnya. Dan tidak ada perhitungan terhadap niatnya yang menolakbelakangi perkataannya karena perkataannya itu bersifat sharih. Telah berkata Imam Al-Adzra'i : perkataan para ulama adalah dzohir pada bahwasanya perkataan orang tersebut adalah إنشائية dan إنشائية itu terhadap إقرار lebih menyerupai. [Sayid Abdurrohman Ba'alawi mengutip redaksi Mushannif Al-Qala'id - Bughiyah Al-Mustarsyidin Halaman 257 - Kitab Syafi'iyah]

Mafhum Penulis
Sebenarnya strategi kedua ini diikhtilafkan, dan merindingnya yang dikhilafi pendapatnya adalah pendapat 2 Guru Besar Ulama Syafi'iyah sedunia yaitu : Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Sejauh yang penulis ketahui, biasanya semua pendapat ulama Syafi'iyah muta'akhkhirin akan mengerucut merujuk kepada hasil tarjih kedua atau salah satu dari kedua Imam Besar ini. Bahwa perkataan orang-orang :
هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ
"ini (kata isyarat ditujukan terhadap seekor domba saudi arabia misalnya) adalah أُضْحِيَّةٌ"
  1. Ittifaq Imam Ar-Ramli dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami bahwa sekalipun mereka memaksudkan perkataan itu sebagai kalam khabari (pemberitahuan) tetap saja menyebabkan objek menjadi al-mandzuroh. Jadi dalam pandangan Syaikhoni Syafi'iyah : #Jika dimaksudkan kalam khabari, ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ menghasilkan al-mandzuroh. #Jika tidak dimaksudkan kalam khabari ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ menghasilkan al-mandzurah. 
  2. Syaikh Sayid Umar Al-Bashri mengatakan : "menjadi al-mandzuroh itu adalah selagi mereka tidak memaksudkannya sebagai kalam khabari (pemberitahuan), dan jika tidak memaksudkannya sebagai pemberitahuan maka udhhiyah tidak menjadi terta'yin". Jadi dalam pandangan Syaikh Sayid Umar Al-Bashri : #Jika dimaksudkan kalam khabari, ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ tidak menghasilkan al-mandzuroh. #Jika tidak dimaksudkan kalam khabaripun ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ tidak menghasilkan al-mu'ayyanah. 
  3. Imam Al-Adzro'i mengatakan bahwa perkataan para ulama adalah dzohir pada bahwasanya perkataan orang tersebut adalah إنشائية, dan انشائية itu terhadap إقرار. Jadi dalam pandangan Imam Al-Adzro'i : #Jika dimaksudkan kalam khabari, ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ tidak menghasilkan al-mu'ayyanah. #Jika dimaksudkan kalam insya'i ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ menghasilkan al-mu'ayyanah.
Perhatikan perbedaan hasil ketiganya! Penulis tidak sedang membandingkan pendapat mana yang lebih kuat dari 3 pendapat ini, karena jelas dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi'i muta'akhkhirin sering disebutkan bahwa pendapat yang paling kuat dan mewakili sikap madzhab syafi'i adalah pendapat yang disepakati Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ramli. Akan tetapi pendapat Syaikh Sayid Umar Al-Bishri yang ditampilkan dalam karya tulis Syaikh Muhammad Nawawi dan Syaikh Ali Bashabrain, serta penjelasan Imam Al-Adzro'i yang ditampilkan dalam karya tulis Syaikh Muhammad Ba'asyan yakin mereka maksudkan sebagai pendapat alternatif yang bisa diikuti. 

Penulis tidak menyertakan pendapat Imam Ali Asy-Syibromilsi yang لا يبعد اغتفار ذلك للعوام tentang ucapan هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ karena itu bukan pilihan, melainkan harapan terakhir alias mudah-mudahan 😁

Strategi Ketiga - Sertakan anak kalimat yang berisi murod تطوعا pada rangkaian kalimat, baik itu kalimat yang dimaksudkan sebagai kalam khabari maupun sebagai kalam insya'i.
مسئلة ب
ظاهر كلامهم أن من قال هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ أو هِيَ أُضْحِيَّةٌ أو هَدْيٌ تعينت وزال ملكه عنها ولا يتصرف إلا بذبحها فى الوقت وتفرقتها ولا عبرة بنيته خلاف ذلك لأنه صريح
قال الأذرعي كلامهم ظاهر فى أنه إنشاء وهو بالإقرار أشبه
واستحسنه فى القلائد قال ومنه يؤخذ أنه إن أراد أَنِّيْ أُرِيْدُ التَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعًا كما هو عرف الناس المطرد فيما يأخذونه لذلك حمل على ما أراد
Dzohirnya perkataan para ulama adalah bahwasanya orang yang berkata :
هٰذِهِ أُضْحِيَّة 
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba mina misalnya) adalah udhhiyyah"
atau 
هِيَ أُضْحِيَّةٌ
"dia (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan terhadap sakadang domba mina misalnya) adalah udhhiyah" 

atau  

هٰذِهِ هَدْيٌ 
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba mina misalnya) adalah hadyu"
atau 
هِيَ هَدْيٌ
"dia (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan terhadap sakadang domba mina misalnya) adalah hadyu" 
maka domba itu menjadi terta'yin, dan menjadi hilang kepemilikannya atas domba tersebut, dan tidak boleh ditasharrufkan kecuali dengan menyembelih domba tersebut pada waktunya dan memisahkan bagian-bagian tubuhnya. Dan tidak ada perhitungan terhadap niatnya yang menolakbelakangi perkataannya karena perkataannya itu sharih.

Telah berkata Imam Al-Adzra'i : perkataan para ulama adalah dzohir pada bahwasanya perkataan orang tersebut adalah إنشائية dan إنشائية itu terhadap إقرار lebih menyerupai, dan mengistihsannya kitab Al-Qalaid, dia berkata : dan dapat diambil pemahaman dari itu bahwasanya jika mudhahhi memiliki murod :
أَنِّيْ أُرِيْدُ التَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعًا
sesungguhnya aku bermaksud التَّضْحِيَةَ dengan أُضْحِيَّةَ tersebut secara تَطَوُّع
sebagaimana itu adalah kebiasaan orang-orang yang dikontinyukan pernyataan murodnya pada perkara yang mereka take on terhadap perkara tersebut, maka mu'ayyan diihtimalkan terhadap perkara yang jadi murod mudhahhi. [Sayid Abdurrohman Ba'alawi mengutip redaksi Mushannif Al-Qala'id - Bughiyah Al-Mustarsyidin Halaman 257-258 - Kitab Syafi'iyah]

Mafhum Penulis  
Ini secara kosakata, mirip dengan strategi kesatu yang menganjurkan penyertaan kata الْمَسْنُوْنَةَ atau سُنَّةِ pada serangkaian kalimat niat. Akan tetapi yang ini konteksnya bukan pada redaksi kalimat niat, melainkan adalah pada redaksi kalimat إنشائية yang terhadap الإقرار lebih menyerupai seperti dikatakan Imam Al-Adzro'i. Jadi ketika mudhahhi menyatakan :
هٰذِهِ أُضْحِيَّة
"ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya) adalah udhhiyyah"
atau 
هِيَ أُضْحِيَّةٌ
"dia (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan kepada sakadang domba garut misalnya) adalah udhhiyah" 
kemudian melanjutkannya dengan rangkaian kalimat yang menyatakan murod dari أُضْحِيَّةٌnya yang diهٰذِهِkan atau diهِيَkan tersebut seperti dengan rangkaian kalimat :
أَنِّيْ أُرِيْدُ التَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعًا
"sesungguhnya aku bermaksud التَّضْحِيَةَ dengan أُضْحِيَّةَ tersebut secara تَطَوُّع"
menjadi satu kesatuan kalimat (klausa dengan dependent clause berisi murod sebagai anak kalimatnya) :
هٰذِهِ أُضْحِيَّةٌ أَنِّيْ أُرِيْدُ التَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعًا
ini (kata isyarat ini ditujukan terhadap sakadang domba garut misalnya) adalah udhhiyah, sesungguhnya aku bermaksud التَّضْحِيَةَ dengan أُضْحِيَّةَ tersebut secara تَطَوُّع"
atau
هِيَ أُضْحِيَّةٌ أَنِّيْ أُرِيْدُ التَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعًا
"ini (kata ganti dia perempuan tunggal ditujukan kepada sakadang unta misalnya) adalah udhhiyah, sesungguhnya aku bermaksud التَّضْحِيَةَ dengan أُضْحِيَّةَ tersebut secara تَطَوُّع"
maka ta'yinnya pada udhhiyah diihtimalkan pada murodnya tersebut. Sehingga hukum udhhiyah tetap sunat karena ter-tathawwu-kan kalimat murod setelahnya. 

Strategi serupa bisa diterapkan pada kalam خبرية, meskipun : 
  • Syaikh Sayid Umar Al-Bashri mengatakan bahwa menjadi al-mandzuroh itu adalah selagi mereka tidak memaksudkannya sebagai kalam khabari (pemberitahuan). 
  • Imam Al-Adzro'i bahkan menyimpulkan bahwa perkataan para ulama adalah dzohir pada bahwasanya perkataan orang tersebut adalah إنشائية dan إنشائية itu terhadap إقرار lebih menyerupai.
Karena tentu saja jika strategi ini diterapkan juga pada kalam khabari, akan menjadikannya lebih aman.

Strategi ketiga dan strategi keempat hampir sama dengan strategi kesatu dalam hal tidak membiarkan kata أضحية tanpa qayid penjelas.

Strategi Keempat - Sertakan kalimat إن شاء الله pada rangkaian kalimat, baik itu kalimat yang dimaksudkan sebagai kalam khabari maupun sebagai kalam insya'i.
وقال الشافعية في الصحيح والحنابلة: إن نوى الشراء للأضحية ولم يتلفظ بذلك لاتصير به أضحية؛ لأن إزالة الملك على سبيل القربة لاتحصل بذلك، وإنما تجب الأضحية إما بالنذر، مثل لله علي، أو علي أن أضحي بهذه الشاة، أو بالتعيين بأن يقول: هذه أضحية أو جعلتها أضحية، لزوال ملكه عنها بذلك. والجعل بمعنى النذر، فتصير واجبة، ويحرم حينئذ الأكل منها، ولايقبل القول بإرادة التطوع بها. فإن قال: أضحية إن شاء الله لم تتعين ولم تجب
Telah mengatakan Syafi'iyah dalam qaul shahihnya dan Hanabilah : Jika seseorang meniatkan pembelian untuk أضحية dan dia tidak melafadzkan terhadap yang diniatkannya maka dengan itu tidak menjadikan hasil pembeliannya sebagai أضحية karena menghilangkan kepemilikan dalam rangka bertaqorrub tidaklah hasil dengan cara demikian. Hanyalah wajib أضحية dengan : 
  • sebab nadzar, seperti : "لله علي karena Allah mesti kepadaku, atau علي أن أضاحي بهذه الشاة mesti kepadaku berqurban أضحية dengan kambing ini". atau
  • sebab ta'yin (menentukan - menspesifikan), dengan mengatakan : "ini adalah أضحية". atau 
  • "aku telah menjadikannya أضحية" (sebab ju'alah)
Karena hilangnya kepemilikan dia terhadap itu.

"جعل / جعالة / menjadikan" adalah mengandung makna nadzar, maka أضحية menjadi wajib dan haram tatkala demikian memakan dari bagian أضحية. Dan tidak diterima perkataan tentang murod tathawwu dengannya. by the way,  jika seseorang mengatakan "أضحية insya Allah" maka أضحية tidak menjadi terta'yin dan tidak menjadi wajib. [Dr. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili -  Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh Jilid 4 Hal 2707 - Kitab Perbandingan Madzhab]

Mafhum Penulis
Yang dijelaskan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili ini berkaitan dengan perubahan hukum udhhiyah dari hukum asal ke hukum baru menurut perspektif Ulama Fiqih 2 madzhab, yaitu :
  • Madzhab Syafi'i yang beliau telusuri dari kitab-kitab para ulama Syafi'iyah (Mughni Al-Muhtaj Imam Khatib Syarbaini, Al-Muhaddab Imam Abu Ishaq Asy-Syairozy, Hasyiyah Al-Bajuri Syaikhul Islam Ibrohim Al-Baijuri)
  • Madhab Hanbali yang beliau telusuri dari kitab-kitab para ulama Hanabilah (Al-Mughni Imam Ibnu Qudamah, Kasyaf Al-Qina Ala Matn Al-Iqna Imam Manshur Al-Buhuti)
Berikut ini point-point penting dari penjelasan tersebut :
  • Pembelian terhadap hewan udhhiyah tidaklah menyebabkan perubahan dari hukum asal sunat mu'akkad menjadi wajib, ini berbeda dengan pendapat Hanafiyah.
  • Sebab perubahan hukum ada 3 : pernyataan nadzar, pernyataan ta'yin (menentukan jenis qurban terhadap qurban أضحية atau menspesifikan jenis hewan yang akan diqurbanأضحيةkan), pernyataan ju'alah (menjadikan). Ketiganya merupakan bentuk pernyataan alias suatu pengungkapan maksud yang dinyatakan secara lisan baik dibuktikan dengan adanya kata-kata maupun isyarat. Tidak seperti niat, yang ruang pengungkapannya adalah hati.
  • Jika pernyataan yang dilisankan berbeda dengan maksud hati yang sebenarnya, maka yang dijadikan objek hukum adalah apa yang terbukti dinyatakan secara lisan sekalipun tidak sesuai dengan maksud hati. Kacaletot, misalnya. Oleh karena itu beliau menjelaskan bahwa "tidak diterima perkataan tentang murod tathawwu dengannya". Kecuali jika serangkaian kalimat yang jadi murodnya tersebut disebutkan juga secara paralel mengikuti pernyataan sebelumnya sebagai dependent clause sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada strategi ketiga.
  • Jika setelah kalimat pernyataan ta'yin (menspesifikan jenis qurban terhadap qurban أضحية) kemudian diikuti secara paralel dengan kalimat انشاء الله maka statusnya menjadi tidak terta'yin dan qurban أضحية menjadi tidak wajib
Jadi jika dalam percakapan sehari-hari seorang calon mudhahhi perlu melisankan suara hatinya perihal qurban udhhiyah sebelum proses pelaksanaan dengan ingin tetap mempertahankan pelafalan redaksi أضحية hukum tidak berubah menjadi wajib dengan penerapan strategi ketiga atau keempat ini.

Menurut hemat penulis, dalam percakapan sehari-hari yang lebih aman adalah strategi kelima yaitu penggunaan istilah yang lebih luas dari kata أضحية

Strategi Kelima - Gunakan kosakata yang maknanya lebih umum tapi mudah difahami sebagai pengganti kata ضَحِيَةٌ dhahiyah / kata أَنْ نُضَحِّيَ" dengan seumpama kata ذَبِيْحَة hewan sembelihan / kata أَنْ نَذْبَحَهَا"
قوله ولا تجب الأضحية الا بالنذر : أى حقيقة أو حكما فالأول كقوله لِلّٰهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهٰذِهِ والثاني كقوله جَعَلْتُ هٰذِهِ أُضْحِيَّةً فالجعل بمنزلة النذر بل متى قال هٰذِهِ أُضْحِيَّةً صارت واجبة وان جهل بذلك. فما يقع من العوام عند سؤالهم عما يريدون التضحية به من قولهم هٰذِهِ أُضْحِيَّةً تصير به واجبة ويحرم عليهم الأكل منها. ولا يقبل قولهم اَرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خلافا لبعضهم. وقال الشبراملسي لا يبعد اغتفار ذلك للعوام، وهو قريب، لكن ضعفه مشايخنا. فالجواب المخلص من ذلك أن يقول المسئول نُرِيْدُ أَنْ نَذْبَحَهَا يَوْمَ الْعِيْدِ. نعم، لا تجب بقوله وقت ذبحها أَللّٰهُمَّ هٰذِهِ أُضْحِيَّتِيْ فَتَقَبَّلْ مِنِّي يَا كَرِيْمُ ونحو ذلك
Redaksi Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi ولا تجب الأضحية الا بالنذر dan tidak wajib udhhiyah kecuali sebab nadzar :
Baik nadzar haqiqi ataupun nadzar hukmi.
  • Adapun yang pertama (nadzar haqiqi) adalah seperti perkataan mudhahhi : "لِلّٰهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ بِهٰذِهِ karena Allah mesti kepadaku berأضحية dengan hewan ini".
  • Dan yang kedua (nadzar hukmi) adalah seperti perkataan mudhahhi : جَعَلْتُ هٰذِهِ أُضْحِيَّةً aku telah menjadikan hewan ini sebagai أُضْحِيَّةً. Maka penjadian tersebut adalah ada pada manzilah nadzar. Bahkan ketika dia berkata :  هٰذِهِ أُضْحِيَّةً ini adalah أُضْحِيَّةً", maka jadi أُضْحِيَّةً tersebut berketetapan wajibah sekalipun mudhahhi tidak tahu terhadap bahwa itu menjadi sebab berubah jadi wajib.
Selanjutnya, apa yang terjadi dari orang-orang awam ketika dipertanyakan kepada mereka perihal murod (tujuan) yang mereka berتضحية sebab itu, yaitu dari seumpama jawaban mereka "هٰذِهِ أُضْحِيَّةً ini adalah hewan أُضْحِيَّةً" maka jadilah أُضْحِيَّةً gara-gara jawaban tersebut menjadi wajib dan haram kepada mereka memakan sebagian darinya. Dan tidak diterima penjelasan mereka "اَرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا kami bertujuan untuk tathawwu dengan hewan tersebut", menyelisihi pendapat sebagian ulama. Dan telah berkata Imam Asy-Syibromilsi : "tidak jauh dimaafkannya perihal itu dari orang-orang awam", dan perkataan Imam Asy-Syibromilsi itu mendekati, akan tetapi guru-guru kita mendhaifkannya. And than, adapun jawaban yang المخلص (murni, netral) dari masalah itu (ketika dipertanyakan kepada mereka perihal tujuan yang mereka berتضحية sebab itu) adalah perkataan orang yang ditanya :
نُرِيْدُ أَنْ نَذْبَحَهَا يَوْمَ الْعِيْدِ
kami berkehendak untuk menyembelihnya pada hari raya
Yes, tidak menjadi wajib sebab perkataan mudhahhi pada waktu menyembelihnya :
أَللّٰهُمَّ هٰذِهِ أُضْحِيَّتِيْ فَتَقَبَّلْ مِنِّي يَا كَرِيْمُ
Yaa Allah, ini adalah أُضْحِيَّةًku, maka terimalah dariku, Yaa Allah Al-Kariim.
atau seumpama perkataan tersebut. [Syaikhul Islam Ibrohim Al-Bajuri Jilid 2 Halaman 296 - Kitab Syafi'iyah]

Mafhum Penulis
Awalnya temuan dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri ini akan penulis tempatkan diawal, mengingat strategi inilah yang menurut penulis paling aman.

Syaikhul Islam Ibrohim Al-Bajuri merekomendasikannya suatu redaksi jawaban yang aman untuk dilisankan, yaitu dengan kalimat :
نُرِيْدُ أَنْ نَذْبَحَهَا يَوْمَ الْعِيْدِ
"kami berkehendak untuk menyembelihnya pada hari raya"
Pada redaksi kalimat ini keyword penetralisir dimaksud adalah kata "أَنْ نَذْبَحَهَا". Dengan kata lain, gunakan kata أَنْ نَذْبَحَهَا atau أَنْ أَذْبَحَهَا sebagai pengganti kata أَنْ نُضَحِّيَ atau أَنْ أُضَحِّيَ. Karena secara makna, kata "أَنْ نَذْبَحَهَا" ini lebih luas ruang lingkupnya daripada kata أَنْ نُضَحِّيَ sehingga binatang ternak yang jadi objek pembahasan (ذَبِيْحَة) menjadi tidak terta'yin karena ذبيحة termasuk juga didalamnya : ضَحِيَةٌ Dhahiyah هَدْيٌ Hadyu عَقِيْقَةٌ Aqiqah فَرَعٌ Fara عَتِيْرَةٌ Atirah رَجِيْبَةٌ Rajibah.  Sekalipun dalam rangkaian kalimatnya disebutkan juga waktu penyembelihannya yaitu يوم العيد hari idul adha.

Bagaimana dengan kata "قُرْبَانٌ Qurban" ? Menurut penelusuran penulis kata "قُرْبَانٌ Qurban" bahkan lebih luas cakupan maknanya daripada kata "ذَبِيْحَة Sembelihan" [Lihat Tafsir Al-Khazin Jilid 1 Hal 327] Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa jika kata  "قُرْبَانٌ Qurban" ini ditarik ke wilayah ذبائح, maka dari sekian banyak jenis ذبيحة yang paling kuat علاقةnya dengan "قُرْبَانٌ Qurban" adalah ذبيحة أضحية [Lihat Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid 5 Hal 74] Jadi secara makna memang lebih umum tapi secara penggunaan lebih identik. 

Semoga bermanfaat, dan Selamat Hari Raya Idul Adha!

Sumber
Tafsir Al-Khazin Jilid 1 Hal 327 (Syaikh Alauddin Ali Al-Khazin), I'anah Ath-Thalibin Jilid 2 Halaman 331 (Syaikh Sayid Abu Bakar), Itsmad Al-Ainain fi Ba'dhi Ikhtilaf Asy-Syaikhain Hal 77 (Syaikh Ali Bashabrain), Ats-Tsimar Al-Yani'ah fi Ar-Riyadh Al-Badi'ah Hal 80 (Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi), Bughiyah Al-Mustarsyidin Halaman 257-258 (Syaikh Sayid Abdurrohman Ba'alawi), Hasyiyah Al-Bajuri ala Ibni Qasim Al-Ghazi Jilid 2 Halaman 296 (Syaikhul Islam Ibrohim Al-Bajuri), Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh Jilid 4 Hal 2707 (Dr.Syaikh Wahbah Az-Zuhaili), Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid 5 Hal 74 (Majmu'ah Al-Mu'allifin Kuwait)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah ikut berpartisifasi
Komentar anda akan segera kami balas