Mei 2022 - BAITUSSALAM

Syarat Wajib & Syarat Sah Shalat - 4 Madzhab

Syarat Wajib & Syarat Sah Shalat - 4 Madzhab : Syafi'i Hanafi Maliki Hanbali

Madzhab Syafi’I

اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ: ﻗﺴﻤﻮا ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ ﻗﺴﻤﻴﻦ ﻓﻘﻂ: ﺷﺮﻭﻁ ﻭﺟﻮﺏ، ﻭﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ، ﺃﻣﺎ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻓﻬﻲ ﺳﺘﺔ؛ ﺑﻠﻮﻍ ﺩﻋﻮﺓ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ، ﻓﺎﻟﻜﺎﻓﺮ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻨﺪ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻴﺔ، ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻳﻌﺬﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﺬاﺑﺎ ﺯاﺋﺪا ﻋﻠﻰ ﻋﺬاﺏ اﻟﻜﻔﺮ، ﻭﻣﻦ اﺭﺗﺪ ﻋﻦ اﻹﺳﻼﻡ ﻓﺈﻥ اﻟﺼﻼﺓ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺣﺎﻟﺘﻪ اﻷﻭﻟﻰ، ﻭاﻟﻌﻘﻞ ﻭاﻟﺒﻠﻮﻍ، ﻭاﻟﻨﻘﺎء ﻣﻦ ﺩﻡ اﻟﺤﻴﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺎﺱ: ﻭﺳﻼﻣﺔ اﻟﺤﻮاﺱ، ﻭﻟﻮ اﻟﺴﻤﻊ، ﺃﻭ اﻟﺒﺼﺮ ﻓﻘﻂ
Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi 2 bagian saja :
  1. Syarat wajib shalat
  2. Syarat sah shalat
Syarat wajib shalat menurut mereka ada 6 :
  1. Sampainya dakwah Nabi Muhammad SAW. 
  2. Islam. Maka orang kafir tidak wajib kepadanya shalat menurut Syafi'iyah. Beserta itu, maka dia akan diadzab sebab shalat dengan adzab tambahan atas adzab kekufurannya. Dan barangsiapa murtad dari islam maka sesungguhnya shalat itu wajib kepadanya karena dia itu muslim dengan memperhitungkan statusnya yang pertama.
  3. Berakal
  4. Baligh
  5. Bersih dari haidh dan nifas
  6. Selamatnya panca indera, sekalipun pendengaran saja atau penglihatan saja.
Lebih jelas > Syarat Wajib Shalat Madzhab Syafi'i
Syarat Sah Shalat :
فَصْلٌ - شُرُوْطُ الصَّلَاةِ ثَمَانِيَّةٌ طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ وَالطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِي الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَدُخُوْلُ الْوَقْتِ وَالْعِلْمُ بِفَرْضِيَّتِهَا وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ فَرْضًا مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً وَاجْتِنَابُ الْمُبْطِلَاتِ
Fashl - Syarat Sah Shalat Ada 8 :
  1. Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
  2. Suci dari najis : badannya, pakaiannya dan tempat shalatnya.
  3. Menutup aurat.
  4. Menghadap qiblat.
  5. Sudah masuk waktu shalat.
  6. Mengetahui akan (hukum) kepardhuan shalat tersebut.
  7. Tidak mengi’tiqadkan sunat terhadap salah satu fardhu (rukun) dari antara fardhu-fardhunya (rukun-rukun shalatnya)
  8. Menjauhi segala sesuatu yang dapat membatalkan shalat. 
Lebih jelas > Syarat Sah Shalat Madzhab Syafi'i

Madzhab Hanafi

اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ - ﻗﺴﻤﻮا ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ ﻗﺴﻤﻴﻦ: ﺷﺮﻭﻁ ﻭﺟﻮﺏ، ﻭﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ، ﻛﺎﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ. ﺃﻣﺎ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﻨﺪﻫﻢ، ﻓﻬﻲ ﺧﻤﺴﺔ: ﺑﻠﻮﻍ ﺩﻋﻮﺓ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ، ﻭاﻟﻌﻘﻞ ﻭاﻟﺒﻠﻮﻍ، ﻭاﻟﻨﻘﺎء ﻣﻦ اﻟﺤﻴﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺎﺱ، ﻭﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﺑﻠﻮﻍ اﻟﺪﻋﻮﺓ اﻛﺘﻔﺎء ﺑﺎﺷﺘﺮاﻁ اﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺃﻣﺎ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﺤﺔ ﻓﻬﻲ ﺳﺘﺔ: ﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﺒﺪﻥ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ ﻭاﻟﺨﺒﺚ، ﻭﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﺜﻮﺏ ﻣﻦ اﻟﺨﺒﺚ، ﻭﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﻤﻜﺎﻥ ﻣﻦ اﻟﺨﺒﺚ، ﻭﺳﺘﺮ اﻟﻌﻮﺭﺓ، ﻭاﻟﻨﻴﺔ، ﻭاﺳﺘﻘﺒﺎﻝ اﻟﻘﺒﻠﺔ، ﻓﺰاﺩﻭا ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ: اﻹﺳﻼﻡ ﻛﺎﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ اﻻ ﺃﻧﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮا: ﺇﻥ اﻟﻜﺎﻓﺮ ﻻ ﻳﻌﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻬﺎ ﻋﺬاﺑﺎ ﺯاﺋﺪا ﻋﻠﻰ ﻋﺬاﺏ اﻟﻜﻔﺮ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﻳﻈﻬﺮ ﺃﻥ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺗﻌﺬﻳﺐ اﻟﻜﺎﻓﺮ ﻋﺬاﺑﺎ ﺯاﺋﺪا ﻋﻠﻰ ﻋﺬاﺏ اﻟﻜﻔﺮ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻧﻈﺮﻳﺔ ﻏﻴﺮ ﻋﻤﻠﻴﺔ. ﻷﻥ ﻋﺬاﺏ اﻟﻜﻔﺮ ﺃﺷﺪ ﺃﻧﻮاﻉ اﻟﻌﺬاﺏ، ﻓﻜﻞ ﻋﺬاﺏ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻓﻬﻮ ﺩﻭﻧﻪ، ﻓﻬﻮ ﺇﻣﺎ ﺩاﺧﻞ ﻓﻴﻪ، ﻭﺇﻣﺎ ﺃﻗﻞ ﻣﻨﻪ، ﻭﺯاﺩﻭا اﻟﻨﻴﺔ، ﻓﻼ ﺗﺼﺢ اﻟﺼﻼﺓ ﺑﻐﻴﺮ ﻧﻴﺔ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: "ﺇﻧﻤﺎ اﻷﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ" ﻭﻷﻧﻪ ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ ﺗﺘﻤﻴﺰ اﻟﻌﺒﺎﺩاﺕ ﻋﻦ اﻟﻌﺎﺩاﺕ، ﻭﺗﺘﻤﻴﺰ اﻟﻌﺒﺎﺩاﺕ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ؛ ﻭﻭاﻓﻖ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺪﻫﺎ ﺷﺮﻃﺎ، ﻭﺟﻌﻠﻬﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺭﻛﻨﺎ، ﻭﻛﺬا اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭ، ﻛﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻓﻲ "ﺃﺭﻛﺎﻥ اﻟﺼﻼﺓ" ﻭﻗﺪ ﻋﺮﻓﺖ ﻣﻤﺎ ﻗﺪﻣﻨﺎﻩ ﻟﻚ ﻓﻲ "ﻣﺒﺤﺚ اﻟﻨﻴﺔ" اﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻟﺸﺮﻁ ﻭاﻟﺮﻛﻦ ﻭﺃﻥ ﻛﻼ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻻ ﻳﺼﺢ اﻟﺸﻲء اﻻ ﺑﻪ ﻓﻼ ﺗﺼﺢ اﻟﺼﻼﺓ اﻻ ﺑﺎﻟﻨﻴﺔ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ اﻷﺋﻤﺔ اﻷﺭﺑﻌﺔ، ﺃﻣﺎ ﻛﻮﻥ اﻟﻨﻴﺔ ﺷﺮﻃﺎ ﺗﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ، ﻣﻊ ﻛﻮﻧﻪ ﺧﺎﺭﺟﺎ ﻋﻦ ﺣﻘﻴﻘﺘﻬﺎ، ﺃﻭ ﺭﻛﻨﺎ ﺗﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻫﻮ ﺟﺰء ﻣﻦ ﺣﻘﻴﻘﺘﻬﺎ، ﻓﺘﻠﻚ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺗﺨﺘﺺ ﺑﻄﺎﻟﺐ اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬﻱ ﻳﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺩﻗﺎﺋﻖ اﻷﻣﻮﺭ اﻟﻨﻈﺮﻳﺔ.
ﻫﺬا، ﻭﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﺩﺧﻮﻝ اﻟﻮﻗﺖ ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﺤﺔ، ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻧﻬﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: ﺇﻧﻪ ﺷﺮﻁ ﻟﺼﺤﺔ اﻷﺩاء ﻻ ﻟﻨﻔﺲ اﻟﺼﻼﺓ، ﻛﻤﺎ ﻣﺮ ﻓﻲ اﻟﺘﻴﻤﻢ، ﻭﺳﻴﺄﺗﻲ ﻓﻲ ﻣﺒﺤﺚ ﺩﺧﻮﻝ اﻟﻮﻗﺖ
Mereka membagi syarat - syarat shalat menjadi 2 bagian :
  1. Syarat wajib shalat
  2. Syarat sah shalat
Seperti Syafi'iyah.

Syarat Wajib Shalat :
  1. Sampainya dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
  2. Islam
  3. Berakal
  4. Baligh
  5. Suci dari haidh dan nifas
Banyak dari Hanafiyah yang tidak menyebutkan sampainya dakwah, karena menganggap cukup dengan disyaratkannya Islam.
Syarat Sah Shalat :
  1. Suci badan dari hadats dan khubuts
  2. Suci pakaian dari khubuts
  3. Suci tempat shalat dari khubuts
  4. Menutup aurat
  5. Niat
  6. Menghadap qiblat
Maka mereka menambahkan :
  • Pada syarat wajib shalat terhadap point islam seperti Syafi'iyah. Akan tetapi Hanafiyah berkata : sesungguhnya kafir tidak diadzab atas peninggalan shalat sebagai adzab tambahan atas adzab kekufuran secara muthlaq. Dan dzohir bahwasanya masalah diadzabnya kafir dengan adzab tambahan atas adzab kekufuran adalah merupakan masalah nadzoriyah bukan masalah amaliyah. Karena sesungguhnya adzab kekufuran adalah paling sangatnya jenis adzab. Maka setiap adzab yang bisa diimajinasikan levelnya adalah di bawahnya, bisa termasuk darinya atau yang lebih kurang darinya.
  • Niat pada syarat sah. Maka tidak shalat tanpa adanya niat. Berdasarkan Sabda Rasulullah SAW : "sesungguhnya amal-amal berdasarkan niat". Dan karena sesungguhnya dengan niat menjadi terbedakan ibadah-ibadah dari adat kebiasaan. Dan menjadi terbedakan ibadah-ibadah sebagian dari sebagian lainnya. Dan Hanabilah muwafaqah terhadap menghitungnya sebagai syarat. Dan Syafi'iyah menjadikannya rukun, begitu juga Malikiyah menurut pendapat masyhurnya sepertihalnya penjelasan yang akan datang pada rukun shalat. Dan anda telah mengetahui dari penjelasan yang kami telah mendahulukannya untuk anda pada tempat pembahasan niat terhadap perbedaan antara syarat dan rukun. Dan bahwasanya masing-masing dari keduanya tidak sah suatu perkara kecuali dengannya. Maka tidak sah shalat kecuali dengan niat berdasarkan ittifaq imam 4 madzhab. Adapun keadaan niat sebagai syarat yang menjadi tertangguhkan sebabnya shalat disertai keadaannya yang keluar dari hakikat shalat atau sebagai rukun yang menjadi tertangguhkan sebabnya shalat dalam keadaan itu bagian dari hakikat shalat. Maka itu adalah masalah yang dikhususkan terhadap penuntut ilmu yang ingin mengenali detailnya perkara nadzoriyah.
Ini, sekalipun Hanafiyah tidak menyebutkan masuk waktu shalat pada syarat wajib shalat dan tidak pada syarat sah shalat, itu adalah karena sesungguhnya Hanafiyah mereka berkata : sesungguhnya masuk waktu shalat adalah merupakan syarat untuk sahnya shalat ada'an tidak untuk sah nafs-nya shalat. Sebagaimana yang telah lewat pada tayamum. Dan akan datang pada tempat pembahasan masuk waktu shalat.

Madzhab Maliki 

اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮا: ﺗﻨﻘﺴﻢ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ: ﺷﺮﻭﻁ ﻭﺟﻮﺏ ﻓﻘﻄ ﻭﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ ﻓﻘﻂ، ﻭﺷﺮﻭﻁ ﻭﺟﻮﺏ ﻭﺻﺤﺔ ﻣﻌﺎ، ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻘﺴﻢ اﻷﻭﻝ، ﻭﻫﻮ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻓﻘﻂ ﻓﻬﻮ ﺃﻣﺮاﻥ، ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ: اﻟﺒﻠﻮﻍ، ﻓﻼ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺒﻲ، ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻬﺎ ﻟﺴﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ؛ ﻭﻳﻀﺮﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﻌﺸﺮ ﺿﺮﺑﺎ ﺧﻔﻴﻔﺎ ﻟﻴﺘﻌﻮﺩ ﻋﻠﻴﻬﺎ؛ ﻓﺈﻥ اﻟﺘﻜﺎﻟﻴﻒ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻭﺩﺭء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ، ﻭﺃﻥ اﻟﻌﻘﻼء ﻻ ﻳﺠﺪﻭﻥ ﺣﺮﺟﺎ ﻓﻲ اﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﺘﻜﻠﻴﻒ، ﻭﻟﻜﻦ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻟﻬﺎ ﺣﻜﻤﻬﺎ؛ ﻓﻘﺪ ﻳﻌﻠﻢ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﻓﻮاﺋﺪ اﻟﺼﻼﺓ اﻟﻤﺎﺩﻳﺔ ﻭاﻷﺩﺑﻴﺔ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﻓﻲ ﺣﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﺩاﺋﻬﺎ، ﻭﻟﻜﻦ ﻋﺪﻡ ﺗﻌﻮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻳﻘﻌﺪ ﺑﻪ ﻣﻦ اﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﺄﺩاﺋﻬﺎ، ﺛﺎﻧﻴﻬﻤﺎ: ﻋﺪﻡ اﻹﻛﺮاﻩ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻬﺎ، ﻛﺄﻥ ﻳﺄﻣﺮﻩ ﻇﺎﻟﻢ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺘﺮﻛﻬﺎ ﺳﺠﻨﻪ، ﺃﻭ ﺿﺮﺑﻪ، ﺃﻭ ﻗﺘﻠﻪ، ﺃﻭ ﻭﺿﻊ اﻟﻘﻴﺪ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ، ﺃﻭ ﺻﻔﻌﻪ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻬﻪ ﺑﻤﻸ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﻫﺬا ﻳﻨﻘﺺ ﻗﺪﺭﻩ، ﻓﻤﻦ ﺗﺮﻙ اﻟﺼﻼﺓ ﻣﻜﺮﻫﺎ ﻓﻼ ﺇﺛﻢ ﻋﻠﻴﻪ، ﺑﻞ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﻣﻜﺮﻫﺎ، ﻷﻥ اﻟﻤﻜﺮﻩ ﻏﻴﺮ ﻣﻜﻠﻒ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: "ﺭﻓﻊ ﻋﻦ ﺃﻣﺘﻲ اﻟﺨﻄﺄ ﻭاﻟﻨﺴﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎ اﺳﺘﻜﺮﻫﻮا ﻋﻠﻴﻪ" ﻭاﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻜﺮﻩ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﺑﻬﻴﺌﺘﻬﺎ اﻟﻈﺎﻫﺮﺓ، ﻭﺇﻻ ﻓﻤﺘﻰ ﺗﻤﻜﻦ ﻣﻦ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ، ﻣﻦ ﻧﻴﺔ، ﻭﺇﺣﺮاﻡ ﻭﻗﺮاءﺓ، ﻭﺇﻳﻤﺎء ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻟﻤﺮﻳﺾ اﻟﻌﺎﺟﺰ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻳﺴﻘﻂ ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﻓﻌﻠﻪ.
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻘﺴﻢ اﻟﺜﺎﻧﻲ، ﻭﻫﻮ ﺷﺮﻁ اﻟﺼﺤﺔ ﻓﻘﻂ، ﻓﻬﻮ ﺧﻤﺴﺔ: اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ، ﻭاﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺨﺒﺚ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ، ﻭاﺳﺘﻘﺒﺎﻝ اﻟﻘﺒﻠﺔ، ﻭﺳﺘﺮ اﻟﻌﻮﺭﺓ.
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻘﺴﻢ اﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﻫﻮ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭاﻟﺼﺤﺔ ﻣﻌﺎ، ﻓﻬﻮ ﺳﺘﺔ: ﺑﻠﻮﻍ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﺗﺒﻠﻐه اﻟﺪﻋﻮﺓ ﻻ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻻ ﺗﺼﺢ ﻣﻨﻪ ﺇﺫا ﻓﺮﺽ ﻭﺻﻠﻰ، ﻭاﻟﻌﻘﻞ؛ ﻭﺩﺧﻮﻝ ﻭﻗﺖ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﻔﻘﺪ اﻟﻄﻬﻮﺭﻳﻦ؛ ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻳﺠﺪ ﻣﺎء، ﻭﻻ ﺷﻴﺌﺎ ﻳﺘﻴﻤﻢ ﺑﻪ، ﻭﻋﺪﻡ اﻟﻨﻮﻡ ﻭاﻟﻐﻔﻠﺔ، ﻭاﻟﺨﻠﻮ ﻣﻦ ﺩﻡ اﻟﺤﻴﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺎﺱ. ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﻫﺬا ﺃﻥ اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺯاﺩﻭا ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﺤﺔ: اﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻟﻢ ﻳﺠﻌﻠﻮﻩ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ، ﻓﺎﻟﻜﻔﺎﺭ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻨﺪﻫﻢ؛ ﻭﻟﻜﻦ ﻻ ﺗﺼﺢ اﻻ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ، ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ، ﻓﺈﻧﻪ ﻋﺪﻭﻩ ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ، ﻭﻋﺪﻭا اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﺷﺮﻃﻴﻦ. ﻭﻫﻤﺎ ﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﺤﺪﺙ، ﻭﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﺨﺒﺚ؛ ﻭﺯاﺩﻭا ﻓﻲ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻋﺪﻡ اﻹﻛﺮاﻩ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻛﻬﺎ

Malikiyah berkata : syarat-syarat shalat terbagi menjadi 3 bagian : 
  1. Syarat wajib
  2. Syarat sah
  3. Syarat wajib serta sah
Bag 1 - Syarat Wajib Shalat :
  1. Baligh. Maka tidak wajib kepada Shabiy, akan tetapi wajib diperintah shalat sebab usia 7 tahun dan dipukul sebab shalat karena usia 10 tahun dengan pukulan ringan supaya dia kembali pada melaksanakan shalat. Karena sesungguhnya taklif syar'iyah sekalipun semuanya dibangun di atas جلب المصالح ودرء المفاسد dan orang yang berakal tidak akan menemukan dosa pada penunaian terhadap shalat setelah adanya taklif, akan tetapi adat memiliki hukum : terkadang seorang insan mengetahui dari antara faedah-faedah shalat berupa materi dan adab terhadap perkara yang di dalamnya terdapat kifayah pada tanggungannya untuk menunaikannya. Dan akan tetapi kembalinya dia terhadap mengerjakannya menempati dengannya dari pendirian terhadap penunaian shalat.
  2. Tidak ada paksaan untuk meninggalkan shalat. Seperti : memerintah terhadapnya orang yang dzolim untuk meninggalkan shalat, jika dia tidak meninggalkan shalat maka sakadang dzolim tersebut akan memenjarakannya atau membunuhnya atau akan melilitkan rantai pada kakinya atau sakadang dzolim akan menerapkan praktek penamparan terhadap wajahnya oleh orang banyak. Karena tatkala ini terjadi maka mengurangi terhadap kemampuannya. Maka barangsiapa meninggalkan shalat sebagai orang yang mukroh (dipaksa), tidak ada dosa baginya. Bahkan shalat tidak wajib kepadanya selama dalam keadaan mukroh, karena orang mukroh tidak ditaklif sebagaimana Sabda Rasulullah SAW : "diangkat qolam dari umatku yang kesalahan, lupa dan selagi keadaan dipaksa menguasainya". Perkara yang menjadi wajib kepada al-mukroh menurut mereka hanya mengerjakannya dengan hai'at shalat yang dzohir, dan pada level selanjutnya tatkala memiliki thaharoh maka wajib kepadanya mengerjakan perkara yang dia mampu terhadapnya yaitu dari : niat, takbirotul ihrom, qiro'at dan isyarah. Maka dia sepertihalnya orang sakit yang tidak mampu yang wajib kepadanya mengerjakan perkara yang dia mampu terhadapnya, serta gugurlah darinya perkara yang dia tidak mampu mengerjakannya.
Bag 2 - Syarat Sah Shalat :
  1. Suci dari Hadats
  2. Suci dari Khubuts
  3. Islam
  4. Menghadap qiblat
  5. Menutup aurat
Bag 3 - Syarat Wajib serta Sah Shalat :
  1. Sampainya dakwah Nabi Muhammad SAW. Maka barangsiapa tidak sampai kepadanya dakwah Nabi SAW, tidak wajib kepadanya shalat dan tidak sah shalat darinya.
  2. Berakal
  3. Masuk waktu shalat
  4. Tidak  faqid Ath-Thahurain, sekira dia tidak menemukan air dan sesuatupun yang dapat digunakan sebagai alat tayamum.
  5. Tidak dalam keadaan tidur dan ghaflah
  6. Kosong dari darah haidh dan nifas
Dapat diketahui dari semua ini bahwasanya Malikiyah :
  • Mereka menambahkan pada syarat sah, terhadap Islam. Dan mereka tidak menjadikannya dari sebagian syarat-syarat wajib. Maka kuffar wajib kepada mereka shalat, tapi tidak sah kecuali dengan masuk islam. Ini khilaf dengan madzhab selain mereka. Karena bahwasanya mereka menghitungnya pada syarat wajib.
  • Mereka menghitung thaharoh menjadi 2 syarat, yaitu : thaharoh al-hadats dan thaharoh al-khubts.
  • Mereka menambah pada syarat wajib terhadap tidak adanya paksaan untuk meninggalkan shalat.

Madzhab Hanbali

اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ: ﻟﻢ ﻳﻘﺴﻢ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﺷﺮﻭﻁ اﻟﺼﻼﺓ ﺇﻟﻰ ﺷﺮﻭﻁ ﻭﺟﻮﺏ، ﻭﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ، ﻛﻐﻴﺮﻫﻢ، ﺑﻞ ﻋﺪﻭا اﻟﺸﺮﻭﻁ ﺗﺴﻌﺔ، ﻭﻫﻲ: اﻹﺳﻼﻡ، ﻭاﻟﻌﻘﻞ، ﻭاﻟﺘﻤﻴﻴﺰ، ﻭاﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ ﻣﻊ اﻟﻘﺪﺭﺓ، ﻭﺳﺘﺮ اﻟﻌﻮﺭﺓ، ﻭاﺟﺘﻨﺎﺏ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺑﺒﺪﻧﻪ ﻭﺛﻮﺑﻪ ﻭﺑﻘﻌﺘﻪ ﻭاﻟﻨﻴﺔ، ﻭاﺳﺘﻘﺒﺎﻝ اﻟﻘﺒﻠﺔ، ﻭﺩﺧﻮﻝ اﻟﻮﻗﺖ، ﻭﻗﺎﻟﻮا: ﺇﻧﻬﺎ ﺟﻤﻴﻌﻬﺎ ﺷﺮﻭﻁ ﻟﺼﺤﺔ اﻟﺼﻼﺓ
Hanabilah tidak membagi syarat-syarat shalat kepada syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sah sepertihalnya selain mereka, tapi mereka menjadikan hitungan syarat-syaratnya menjadi 9 :
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Tamyiz
  4. Suci dari hadats disertai mampu
  5. Menutup aurat
  6. Menjauhkan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis
  7. Niat
  8. Menghadap qiblat
  9. Masuk waktu shalat
Mereka berkata bahwasanya semuanya adalah syarat sah shalat.

Sumber :
[1] Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah Jilid 1 Hal 161-163
[2] Safinah An-Naja Hal 46-48

Syarat Wajib Shalat - Madzhab Imam Syafi'i

Syarat Wajib Shalat - Madzhab Imam Syafi'i ada 6 (wajib shalat terhadap orang yang memiliki kriteria ini) :
  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Selamat salah satu indera penglihatan dan pendengaran
  5. Sampainya dakwah Nabi Muhammad SAW
  6. Bersih dari haidh dan nifas
Islam
Sekalipun Islamnya pada zaman yang telah lewat, seperti murtad. Oleh karena Islam menjadi salah satu syarat wajib shalat maka kafir ashli tidak wajib mengqadha shalat jika dia masuk islam, bahkan jika dia mengqadhapun shalatnya laa yan’aqid/tidak jadi. Adapun kafir murtad, maka menjadi wajib kepadanya mengqadha shalat. Bahkan termasuk yang menjadi tanggungan kewajibannya dalam hal mengqadha, zaman junun ketika dia sedang murtad. Tidak termasuk zaman haidh dan zaman nifas.

Baligh
Baik menjadi balighnya disebabkan mencapai usia 15 tahun, ihtilam maupun disebabkan haidh. Oleh karena baligh menjadi salah satu syarat wajib shalat maka qadha tidak wajib kepada shabiy/anak setelah dia mencapai baligh. Tapi yundabu/disunatkan kepadanya mengqadha shalat yang telah luput semasa setelah tamyiz s/d baligh jika dia telah mencapai baligh. Tidak disunatkan kepadanya mengqadha shalat yang telah luput semasa sebelum tamyiz, bahkan haram hukumnya dan shalat qadhanya pun tidak jadi jika dilakukan. Telah mengatakannya Imam Abdul Karim.

Berakal
Oleh karena berakal menjadi salah satu syarat wajib shalat maka qadha tidak wajib kepada orang gila/majnun jika dia sembuh, kecuali jika kegilaan tersebut terjadi pada zaman murtad. Dan tidak wajib qadha kepada orang yang mughma alaih/pingsan, kecuali ada unsure kesengajaan pada sebab mughma alaihnya. Maka jika ada unsur kesengajaan pada sebab majnun dan mughma alaih, qadha menjadi wajib kepada mereka berdua. Adapun jika tidak ada kesengajaan, maka qadha bukan wajib melainkan yustahab/disunatkan berdasarkan pendapat mu’tamad dalam madzhab Imam Syafi’i.

Selamat salah satu indera pendengaran dan penglihatan
Oleh karena selamat salah satu indera pendengaran dan penglihatan menjadi salah satu syarat wajib shalat maka shalat tidak wajib kepada orang yang sejak dilahirkan diciptakan Allah dalam kondisi tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat sekalipun dia bisa berbicara. Dan tidak wajib kepadanya mengqadha shalat, jika hilang mani’nya (tidak bisa mendengarnya atau tidak bisa melihatnya)

Sampainya dakwah Nabi Muhammad SAW
Oleh karena sampainya dakwah Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu syarat wajib shalat maka shalat tidak wajib kepada orang yang tidak sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad SAW. Tapi jika orang yang tidak sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut masuk islam, maka wajib kepadanya qadha. Imam Asy-Syibramilsi telah mengatakan itu.

Bersih dari haidh dan nifas
Oleh karena bersih dari haidh dan nifas menjadi salah satu syarat wajib shalat maka qadha shalat tidak wajib kepada orang yang haidh dan nifas. Sekalipun kondisi haidh dan nifas tersebut dialami pada masa sedang murtad, bahkan mengqadha dalam hal ini juga tidak yundabu/disunatkan. Telah berkata Syaikh Muhammad Al-Baqri : “jika orang yang haidh dan nifas berkehendak untuk mengqadhanya maka shalatnya sah disertai hukum makruh”.

Jika hilang al-mawanii’ yang sudah disebutkan dari mereka semua dan masih tersisa waktu shalat sedurasi ukuran takbirotul ihrom, maka wajiblah shalat tersebut kepada mereka. Begitupula wajib kepada mereka shalat yang sebelumnya jika shalat sebelumnya pantas untuk menjamanya besertanya.

Sumber :
Kasyifah As-Saja fi Syarhi Safinah An-Naja Hal 49

Menggunakan Qaul Dha'if Dalam Lingkungan Madzhab Yang Sudah Dita'yin & Diiltizami Lebih Utama Daripada Taqlid Terhadap Madzhab Lain

Bolehkah qaul dha'if dipergunakan sebagai dasar dari amaliyah ibadah kita? Logikanya begini, ulama menampilkan qaul-qaul tersebut dalam kitab-kitabnya bukan tanpa tujuan, yang salah satu di antaranya tentu saja sebagai alternatif yang bisa dijadikan pegangan dasar amaliyah ibadah kita. Selama kualitas kedhaifannya tidak terlalu.
وأما الأقوال الضعيفة فيجوز العمل بها في حق النفس لا في حق الغير ما لم يشتد ضعفها ولا يجوز الإفتاء ولا الحكم بها. والقول الضعيف شامل لخلاف الأصح وخلاف المعتمد وخلاف الأوجه وخلاف المتجه. وأما خلاف الصحيح فالغالب أنه يكون فاسدا لا يجوز الأخذ به. ومع هذا كله فلا يجوز للمفتي أن يفتى حتى يأخذ العلم بالتعلم من أهله المتقين له العارفين به. وأما مجرد الأخذ من الكتب من غير أخذ عمن ذكر فلا يجوز لقوله صلى الله عليه وسلم انما العلم بالتعلم ومع ذلك لابد من فهم ثاقب ورأي صائب فعلى من أراد الفتوى أن يعتنى بالتعلم غاية الإعتناء اه
Adapun qaul-qaul dha'if, maka boleh amal menggunakannya di hak diri sendiri tidak di hak orang lain. Selagi tidak kebangetan dha'ifnya. Tidak boleh berfatwa dan menetapkan hukum dengannya. Qaul dha'if mencakup terhadap :
  • Qaul khilaf al-ashahh
  • Qaul khilaf al-mu'tamad
  • Wajh khilaf al-aujuh
  • Wajh khilaf al-muttajah
Adapun qaul khilaf ash-shahih, yang ghalib adalah bahwasanya itu keadaannya fasid. Tidak boleh mengambilnya. Beserta ini semuanya, maka tidak boleh bagi seorang mufti berfatwa sehingga mengambil ilmu melalui ta'allum. Beserta itu, tidak boleh tidak dari memiliki pemahaman yang mendalam dan perspektif yang benar. Maka wajib kepada orang yang bermaksud untuk berfatwa berhati-hati dalam berta'allum sehati-hatinya.[1]

Menurut sebagian ulama, menggunakan qaul dha'if dalam lingkungan madzhab yang sudah dita'yin & diiltizami bahkan lebih utama daripada taqlid terhadap madzhab lain. Hal itu sehubungan dengan tidak mudahnya upaya pemenuhan syarat menggunakan pendapat madzhab lain.
في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اه
Terdapat penjelasan di dalam Kitab Al-Fawa'id Al-Madaniyah milik Imam Al-Kurdi, bahwasanya taqlid terhadap القول الضعيف في المذهب atau الوجه الضعيف في المذهب dengan memenuhi syarat taqlid lebih utama daripada mentaqlidi madzhab lain dikarenakan sulitnya memenuhi syarat-syarat taqlid.[2]

Sumber :
[1] Sayid Abu Bakar Ad-Dimyathi, I'anah Ath-Thalibin Jilid 2 Hal 19.
[2] Sayid Abdurrohman Ba'alawi, Bughiyah Al-Mustarsyidin Hal 10.

Perbedaan Sunat, Mandub, Mustahab, Tathawwu' - Menurut Ulama Fiqih 4 Madzhab

Perbedaan Sunat, Mandub, Mustahab, Tathawwu' - Menurut Ulama Fiqih 4 Madzhab : Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah.

Menurut Syafi'iyah

Mandub, mustahab, tathawwu' dan sunnah merupakan lafadz-lafadz mutarodif. Maksudnya : nama-nama untuk makna yang satu. Dan makna yang satu itu adalah sebagaimana yang dimaklum dari had ندب :
الْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ طَلَبًا غَيْرَ جَزِمٍ
Pekerjaan yang dituntut dengan tuntutan yang tidak jazim.
Mengkhilafi terhadap sebagian dari ashhab kita, yaitu Al-Qadhi Husain dan yang lainnya dalam hal penafian mereka terhadap ke-taroduf-an semua itu. Sekira mereka berkata :
هذا الفعل إن واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم فهو السنة أو لم يواظب عليه كأن فعله مرة أو مرتين فهو المستحب أو لم يفعله وهو ما ينشئه الإنسان باختياره من الأوراد فهو التطوع ولم يتعرضوا للمندوب لعمومه للأقسام الثلاثة بلا شك
Pekerjaan ini jika Rasulullah SAW muwadzobah terhadapnya maka pekerjaan tersebut namanya adalah as-sunnah. Jika Rasulullah tidak me-muwadzobah-kan terhadapnya seperti mengerjakannya sekali atau dua kali, maka pekerjaan ini namanya adalah al-mustahab. Jika Rasulullah tidak mengerjakannya, dan seorang insan memunculkannya dengan atas pilihan Rasulullah SAW dari wirid-wirid maka pekerjaan itu namanya adalah at-tathawwu'. Mereka tidak menampilkan terhadap al-mandub karena umumnya makna al-mandub terhadap bagian-bagian yang 3 tanpa keraguan.[1]

Sunat, Mandub, Mustahab dan Tathawwu’ merupakan lafadz-lafadz mutarodifah dengan makna yang satu yaitu :
مَا يُطْلَبُ مِنَ الْمُكَلَّفِ أَنْ يَفْعَلَهُ طَلَبًا غَيْرَ جَزِمٍ فَإِذَا فَعَلَهُ يُثَابُ عَلَى فَعْلِهِ وَإِذَا تَرَكَهُ لَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
"Perkara yang dituntut dari mukallaf mengerjakannya dengan tuntutan yang tidak jazim. Maka jika dia telah mengerjakannya, akan diberi pahala atas pekerjaannya. Dan jika dia telah meninggalkannya, maka akan di'adzab atas peninggalannya"
Kemudian mereka membagi sunat kepada 2 bagian : 
1).Sunat ‘ain.
Sunat 'ain adalah  : 
مَا يُطْلَبُ فِعْلُهُ بِخُصُوْصِهِ مِنَ الْمُكَلَّفِ طَلَباً غَيْرَ جَازِمٍ وَلَا يُخْتَصُّ بِهِ اِلَّا وَاحِدٌ مِنَ الْمُكَلَّفِيْنَ دُوْنَ الْآخَرِ
Perkara yang dituntut pengerjaannya dengan kekhususannya dari seorang mukallaf dengan tuntutan yang tidak jazim dan tidak dikhususkan dengannya kecuali satu orang mukallaf dari antara semua mukallaf tidak yang lainnya.
Yang demikian itu adalah seperti sunat-sunat pada fara’idh ash-shalat. 
2).Sunat Kifayah.
Sunat kifayah adalah :
مَا يُخَاطَبَ بِهَا مَجْمُوْعُ الْمُكَلَّفِيْنَ بِحَيْثُ إِذَا أَتَى بِهَا بَعْضُهُمْ سَقَطَتْ عَنِ الْبَاقِيْنَ
Perkara yang dikhitobi dengannya keseluruhan mukallafin sekira jika mendatangkan terhadap perkara tersebut sebagian mukallafin maka menjadi jatuhlah perkara tersebut dari mukallafin sisanya.
Yang demikian itu adalah seperti sunat ketika mereka makan bersama, kemudian salah seorang di antara mereka membaca tasmiyah. Maka sunat membaca tasmiyah tersebut gugur dari selainnya, tapi dikhususkan orang yang membaca mengenai pahala pelaksanaan sunat bukan selainnya. [2]

Menurut Malikiyah

Sunat adalah :
ما طلبه الشارع، وأكد أمره، وعظم قدره وأظهره في الجماعة ولم يقم دليل على وجوبه. ويثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها
Perkara yang Syari' menuntut perkara tersebut, kuat perintahnya, agung ukurannya, lebih dzohirnya pada jama'ah, tidak berdiri suatu dalil atas kewajibannya, akan diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak akan di'adzab orang yang meninggalkannya.
Dan sunat ini ada perbedaan dengan mandub dalam madzhab mereka, karena mandub adalah :
ما طلبه الشارع ولم يؤكد طلبه وإذا فعله المكلف يثاب وإذا تركه لا يعاقب ويعبرون عن المندوب بالفضيلة
Perkara yang Syari' menuntutnya, tidak kuat tuntutannya, jika seorang mukallaf telah mengerjakannya maka akan diberi pahala dan jika seorang mukallaf meninggalkannya maka tidak akan di'adzab, dan tentang mandub mereka terkadang menyebutnya dengan fadhilah.
Mereka memberikan perumpamaan terhadap mandub dengan shalat 4 rakaat qabla dzuhur dan selainnya dari antara perkara-perkara yang anda akan mengenalinya nanti pada pembahasan “mandubat ash-shalat”. [2]

Menurut Hanafiyah

Sunat terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1).Sunat Mu’akkadah
Sunat Mu’akkadah adalah dengan makna wajib menurut mereka. Karena mereka berkata :
إن الواجب أقل من الفرض
Sesungguhnya wajib lebih sedikit dari fardhu
Wajib dimaksud adalah :
ما ثبت بدليل فيه سبهة ويسمى فرضاً عملياً. بمعنى أنه يعامل معاملة الفرائض في العمل. فيأثم بتركه. ويجب فيه الترتيب والقضاء ولكن لا يجب اعتقاد أنه فرض
Perkara yang ditetapkan dengan dalil yang di dalamnya terdapat ketidakpastian, dinamakan juga fardhu amaly, dengan makna bahwasanya seorang mukallaf mengamalkan layaknya pengamalan fardhu-fardhu dalam hal pengamalan, maka menjadi berdosa sebab meninggalkannya, dan wajib pada pengamalannya tertib dan wajib qadha, akan tetapi tidak wajib mengi’tiqadkan bahwasanya itu fardhu.

Dan yang demikian itu adalah seperti shalat witir, karena bahwasanya shalat witir menurut mereka adalah fardhu mengamalkannya tidak mengi’tiqadkannya. Maka menjadi berdosa mukallaf yang meninggalkannya dan tidak jadi kufur orang yang mengingkari kefardhuannya. Hal ini berbeda dengan shalat fardhu 5 waktu, karena bahwasanya shalat fardhu 5 waktu adalah fardhu mengamalkannya dan fardhu meng’itiqadkannya. Maka menjadi berdosa orang yang meninggalkannya dan menjadi kufur orang yang mengingkari kefardhuannya, berdasarkan pendapat bahwasanya orang yang meninggalkan perkara wajib menurut ulama hanafiyah tidaklah berdosa seperti dosanya orang yang meninggalkan fardhu. Maka dia tidak di'adzab dengan neraka menurut qaul tahqiq madzhab Hanafi, akan tetapi menjadi dihalangi dari mendapatkan syafa’at Rasulullah SAW. 

Dan dengan demikian dapat diketahui bahwasanya Hanafiyah jika mereka berkata : “ini sunat mu’akkad” maka yang mereka maksudkan dengan perkataan tersebut adalah perkara wajib yang telah kami jelaskan. 

Dan dari sebagian hukum-hukumnya adalah bahwasanya sunat mu’akkadah jika ditinggalkan dalam shalat dikarenakan lupa, maka bisa ditambal dengan sujud sahwi.

2).Sunat Ghair Mu’akkadah
Mereka menyebutnya mandub dan mustahab. Sunat Ghair Mu’akkadah adalah :
ما يثاب على فعله، ولا يعاقب على تركه
Perkara yang akan diberi pahala atas pengerjaannya dan tidak akan di'adzab atas peninggalannya. [2]

Menurut Hanabilah

Sunat, Mandub dan Mustahab merupakan lafadz-lafadz mutarodifah dengan makna yang satu yaitu :
ما يثاب على فعله، ولا يعاقب على تركه
Perkara yang akan diberi pahala atas pengerjaannya dan tidak akan di'adzab atas peninggalannya. [2]
Sepertihalnya penjelasan yang Syafi’iyah telah mengatakannya. Hanya saja mereka membagi sunat kepada Muakkadah dan Ghair Mu’akkadah.

Selanjutnya, Mu’akkadah adalah seperti : shalat witir, shalat 2 rakaat fajar dan shalat tarawih. Dan hukum meninggalkannya menurut mereka adalah makruh. Adapun meninggalkan Ghair Mu’akkadah maka bukanlah makruh. [2]

Sumber :
[1] Al-Mawani Al-Jawami Syarah Al-Jam'i Al-Jawami Jilid 1 Hal 89-90
[2] Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah Jilid 1 Hal 60-61

Perbedaan Wajib, Fardhu, Rukun, Syarat - Madzhab Syafi'i, Hanbali, Maliki, Hanafi

Perbedaan wajib, fardhu, rukun & syarat menurut ahli fiqih madzhab Imam Syafi'i dan ahli fiqih perbandingan madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali)
  • Perbedaan Wajib dan Fardhu
  • Perbedaan Fardhu dan Rukun
  • Perbedaan Rukun dan Syarat

Perbedaan Wajib & Fardhu

Fardhu dan Wajib merupakan dua nama yang mutarodif, maksudnya adalah dua nama untuk makna yang satu yaitu seperti yang sudah diketahui dari had الْإِيجَاب :
الْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ طَلَبًا جَازِمًا
Pekerjaan yang dituntut dengan tuntutan yang jazim
Khilaf terhadap Imam Abi Hanifah dalam hal menafikannya beliau terhadap tarodufnya fardhu dan wajib, sekira beliau berkata :
هذا الفعل ان ثبت بدليل قطعي كالقرأن فهو الفرض كقراءة القرآن في الصلاة الثابتة بقوله تعالى فاقرأوا ما تيسر من القرآن أو بدليل ظني كخبر الواحد فهو الواجب كقراءة الفاتحة في الصلاة الثابتة بحديث الصحيحين لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب فيأثم بتركها ولا تفسد به الصلاة بخلاف ترك القراءة
Pekerjaan ini jika telah ditetapkan dengan dalil qath'i seperti Al-Qur'an, maka pekerjaan ini adalah al-fardhu. Seperti Qiro'at Al-Qur'an di dalam shalat yang tetap dengan Firman Allah Ta'ala :
فَاقْرَأُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنْ
Atau dengan dalil dzonny seperti hadits yang satu. Maka pekerjaan ini adalah al-wajib, seperti Qiro'at Al-Fatihah di dalam shalat yang tetap dengan Hadits Shahihain :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Maka menjadi berdosa dengan meninggalkannya dan tidak rusak dengannya shalat, berbeda dengan peninggalan terhadap Qiro'at Al-Qur'an.

ولا فرق عندنا بين الواجب والفريضة * وقال أبو حنيفة رحمه الله هي واجبة وليست بفريضة

Tidak ada bedanya di kalangan ulama kita antara wajib dan faridhah * Dan telah berkata Imam Abu Hanifah Rahimahullah : Zakat fithrah hukumnya wajibah dan bukan faridhah.


Sumber : 
Al-Alamah As-Subuki, Al-Mawani Al-Jawami Syarh Al-Jam'ul Al-Jawami Jilid 1 Hal 88-89
Imam Abdul Karim Ar-Rafi'i, Fath Aziz bi Syarh Al-Wajiz Asy-Syarh Al-Kabir Jilid 6 Hal 112

Perbedaan Fardhu & Rukun

Pada bab wudhu Syaikh Salim Al-Hadhromi menggunakan redaksi “fardhu” dan pada bab shalat menggunakan redaksi “rukun” karena tatkala memisah-misahkan perbuatan shalat itu terlarang, maka keberadaan shalat adalah merupakan hakikat yang 1 yang disusun dari juz-juz. Oleh karena itu menjadi sesuai meredaksikan juz-juznya dengan redaksi “arkan/rukun-rukun”. Berbeda dengan wudhu, karena setiap perbuatan dari wudhu seperti membasuh wajah keberadaannya adalah mustaqil binafsihi, dan boleh memisah-misahkan perbuatannya, maka tidak ada ketersusunan di dalamnya.
Sumber : Kasyifah As-Sajaa fi Syarh Safinah An-Najaa Hal 17

Perbedaan Fardhu/Rukun & Syarat

Fardhu secara bahasa maknanya sama dengan “الْقَطْعُ/putus” dan “الْحِزُّ/pilah”. Contoh perkataan anda :
فَرَضْتُ الْحَبْلَ
jika anda telah memutuskan tali, dan
فَرَضْتُ الخَشْبَةَ
jika anda telah memilah kayu dan tidak sempurna pilahannya.
Adapun makna fardhu menurut syara adalah
مَا أُثِيْبَ فَاعِلُهُ وَعُوْقِبَ تَارِكُهُ
Artinya : perkara yang diberi pahala orang yang mengerjakannya dan disiksa orang yang meninggalkannya
Pada tahap selanjutnya kemudian fuqoha mengistilahkan bahwasanya fardhu adalah sama dengan rukun. Maka rukun suatu perkara dan fardhu suatu perkara adalah satu makna.
Fuqoha juga membedakan keduanya dari syarat. Karena bahwasanya fardhu atau rukun adalah sesuatu yang keberadaannya termasuk hakikat perkara, sedangkan syarat adalah sesuatu yang menjadi tertangguhkan kepadanya wujud suatu perkara dan keberadaannya tidaklah termasuk hakikat perkara. Misalnya shalat salah satu fardhu-fardhunya adalah takbirotul ihrom, ruku, sujud, dst. Dan dari yang termasuk syarat-syaratnya adalah telah masuk waktu shalat. Maka jika dia telah mengerjakan shalat sebelum waktunya, sesungguhnya dia telah mendatangkan terhadap hakikat shalat akan tetapi keberadaan shalatnya batal dari perspektif syari’at, karena salah satu syarat untuk shalat adalah masuk waktu.
Sumber : Al-fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah Juz 1 Hal 51

Kesimpulan
Jadi kesimpulannya perbedaan antara fardhu, rukun & syarat adalah :
  • Suatu Fardhu adalah sesuatu yang dijanjikan syara akan diberi pahala pelakunya dan diancam syara akan dihukum dengan siksaan peninggalnya. sama dengan rukun. Fardhu merupakan bagian dari hakikat suatu perkara, sama dengan rukun tapi beda dengan syarat. Fardhu suatu perkara bersifat mustaqil sehingga bisa dikerjakan secara terpisah-pisah dari fardhu-fardhu lainnya, berbeda dengan rukun.
  • Suatu Rukun adalah sesuatu yang dijanjikan syara akan diberi pahala pelakunya dan diancam syara akan dihukum dengan siksaan peninggalnya, sama dengan fardhu. Rukun merupakan bagian dari hakikat suatu perkara, sama dengan fardhu tapi beda dengan syarat. Rukun suatu perkara tidak bersifat mustaqil sehingga tidak bisa dikerjakan secara terpisah-pisah dari rukun-rukun lainnya, berbeda dengan fardhu.
  • Suatu Syarat adalah bukan merupakan bagian dari hakikat suatu perkara, ini berbeda dengan fardhu maupun rukun. Tapi keberadaan suatu perkara tersebut tertangguhkan menunggu keberadaan seluruh syarat, berbeda dengan fardhu maupun rukun. 
Oleh karena itu pada pembahasan tentang tata cara ibadah, syarat selalu konsisten dibahas. Sedangkan fardhu sering bertukar posisi dengan rukun, tapi konsisten ada salah satunya.

Daftar Pustaka
Al-Banani, Syaikh Abdurrohman. Hasyiyah Al-Banani Ala Syarh Al-Mahalli Ala Matni Jam'i Al-Jawami'. Syirkah Nur Asia.
Al-Jawi, Syaikh Nawawi. Kasyifah As-Sajaa fi Syarh Safinah An-Najaa. Al-Haromain.
Al-Jazairi, Syaikh Abdurrohman. Al-fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah. Maktabah Syamilah

Hukum Takbir Muqayyad Pada Hari Raya Idul Fithri

Salah satu pembeda nuansa idul fithri dari idul adha di indonesia adalah jarangnya imam shalat menuntun pengumandangan takbir muqayyad setelah pelaksanaan shalat fardhu, kenapa bisa begitu? Bagaimana hukum pengumandangannya? 

Masuk akal, karena mayoritas umat islam di Indonesia mengamalkan amaliyah fiqih madzhab Imam Syafi'i, dan berdasarkan pendapat al-ashahh (paling shahih dari antara 2 wajh shahih) dalam madzhab ini tentang hukum takbir muqayyad pada idul fithri adalah tidak disunatkan.

Berikut ini penjelasan para ulama Syafi'iyah :
ﻭﻫﻞ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻘﺐ اﻟﺼﻠﻮاﺕ ﻓﻲ ﻋﻴﺪ اﻟﻔﻄﺮ ﻓﻴﻪ ﺧﻼﻑ ﻭاﻷﺻﺢ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ اﻟﺮﻭﺿﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﻌﺪﻡ ﻧﻘﻠﻪ ﻭﺻﺤﺢ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻘﺐ اﻟﺼﻠﻮاﺕ ﻛﺎﻷﺿﺤﻰ
Dan apakah takbir disunatkan setelah shalat-shalat pada idul fithri? Dalam hal ini terdapat khilaf : 
  • Qaul yang paling shahih dalam asal kitab Ar-Raudhah (milik Imam Nawawi) adalah bahwasanya takbir setelah shalat-shalat pada idul fithri tidak dimustahabkan karena ketiadaan tuqilannya.
  • Imam Nawawi menshahihkan dalam kitab Al-Adzkar bahwasanya takbir pada idul fithri dimustahabkan setelah shalat-shalat seperti idul adha.
(Imam Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar Jilid 1 Hal 151 - Diterjemahkan oleh : Cucu Anwar Mubarok)

ويسن التكبير المطلق في عيد الفطر وهل يسن التكبير المقيد في ادبار الصلوات فيه وجهان - أحدهما - لا يسن لانه لم ينقل ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - والثاني - انه يسن لانه عيد يسن له التكبير المطلق فيسن له التكبير المقيد كالاضحى
Disunatkan takbir muthlaq di hari raya idul fithri. Dan apakah disunatkan takbir muqayyad pada setelah shalat - shalat di hari raya idul fithri? Dalam hal ini ada 2 wajh :
  1. Tidak disunatkan karena tidak dinuqil takbir muqayyad setelah shalat - shalat di hari raya idul fithri dari Rasulullah SAW.
  2. Bahwasanya takbir muqayyad setelah shalat - shalat di hari raya idul fithri itu disunatkan. Karena sesungguhnya idul fithri adalah merupakan id yang disunatkan baginya takbir muthlaq/murshal, maka disunatkan baginya takbir muqayyad seperti idul adha.
(Imam Abi Ishaq Asy-Syairozi, Al-Muhaddab / Al-Majmu Syarah Al-Muhaddab Jilid 5 Hal 30 - Diterjemahkan oleh Cucu Anwar Mubarok)

وَأَمَّا التَّكْبِيرُ الْمُقَيَّدُ فَيُشْرَعُ فِي عِيدِ الْأَضْحَى بِلَا خِلَافٍ لِإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ وَهَلْ يُشْرَعُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ حَكَاهُمَا الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ وَحَكَاهُمَا صَاحِبُ التَّتِمَّةِ وَجَمَاعَةٌ قَوْلَيْنِ (أَصَحُّهُمَا) عِنْدَ الْجُمْهُورِ لَا يُشْرَعُ وَنَقَلُوهُ عَنْ نَصِّهِ فِي الْجَدِيدِ وَقَطَعَ بِهِ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْجُرْجَانِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَصَحَّحَهُ صَاحِبَا الشَّامِلِ وَالْمُعْتَمَدِ وَاسْتَدَلَّ لَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ كَانَ مَشْرُوعًا لَفَعَلَهُ وَلَنُقِلَ (وَالثَّانِي) يُسْتَحَبُّ وَرَجَّحَهُ الْمَحَامِلِيُّ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ * وَاحْتَجَّ لَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْأَصْحَابُ بِأَنَّهُ عِيدٌ يُسَنُّ فِيهِ التَّكْبِيرُ الْمُرْسَلُ فَسُنَّ الْمُقَيَّدُ كَالْأَضْحَى فَعَلَى هَذَا قَالُوا يُكَبِّرُ خَلْفَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ وَنَقَلَهُ الْمُتَوَلِّي عَنْ نَصِّهِ في القديم
Adapun takbir muqayyad, maka disyari'atkan pada idul adha dengan tidak ada khilaf berdasarkan ijma umat. Dan apakah disyari'atkan pada idul fithri? Dalam hal ini ada 2 wajh yang keduanya masyhur yang telah menghikayatkan terhadap keduanya : Mushannif Al-Muhaddab dan Ashab Imam Syafi'i. Dan telah menghikayatkan terhadap keduanya Pemilik kitab At-Tatimmah dan Jama'ah sebagai 2 qaul  :
  1. Yang paling shahih dari keduanya menurut jumhur ulama adalah takbir muqayyad tidak disyari'atkan. Mereka menuqilnya dari Nash Imam Syafi'i di dalam qaul al-jadid. Dan telah memastikan terhadapnya Imam Al-Mawardi, Imam Al-Jurjani, Imam Al-Baghawi dan selain mereka bertiga. Dan telah mentashhihnya 2 pemilik kitab Asy-Syamil. Adapun Al-Mu'tamad serta telah beristidlal baginya Mushannif dan Ashab adalah bahwasanya takbir muqayyad pada hari raya idul fithri tidak dinuqil dari Nabi SAW. Dan seandainya itu disyari'atkan maka beliau pasti telah melakukannya dan yakin dituqil.
  2. Takbir muqayyad pada idul fithri dimustahabkan. Telah mentarjihnya Imam Al-Mahamili, Imam Al-Bandaniji, dan Syaikhul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Dan telah berhujjah baginya Mushannif dan Ashab terhadap bahwasanya idul fithri adalah id yang disunatkan padanya takbir mursal. Maka disunatkan takbir muqayyad seperti idul adha. Maka berdasarkan hujjah ini, kemudian mereka berkata : seseorang bertakbir setelah shalat maghrib, isya dan shubuh. Dan telah menuqilnya Imam Al-Mutawali dari Nash Imam Syafi'i dalam qaul al-qadim.
(Imam Abi Zakariya Yahya An-Nawawi, Al-Majmu Syarah Al-Muhaddab Jilid 5 Hal 35 - Diterjemahkan oleh : Cucu Anwar Mubarok)

Biasanya hasil tashhih Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi yang disampaikan dalam kitab Majmu Syarah Muhaddab dan Ar-Raudhah terhadap wajh-wajh yang telah diriwayatkan atau dihikayatkan ashabul wujuh dari Imam Syafi'i, itulah yang kemudian dijadikan pegangan para imam Madzhab Syafi'i generasi selanjutnya. Jadi jarang ada yang kembali mempermasalahkannya. Dalam hal takbir muqoyyad idul fithri ini, menurut beliau keduanya shahih, tapi yang paling shahih adalah tidak disunatkan. Oleh karenanya mayoritas ulama Indonesia tidak takbir muqayyad pada hari raya idul fithri.

Demikian, semoga bermanfaat.